Tabot adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang tentang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syeh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685.
Syeh Burhanuddin (Imam Senggolo) Menikah dengan wanita Bengkulu
kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai
keluarga Tabot. upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar islam) setiap tahun.
Arti Tabot
Pada awalnya inti dari upacara Tabot adalah untuk mengenang upaya
pemimpin Syi'ah dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh Husein, mengarak
dan memakamnya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab Tabut yang secara harafiah berarti "kotak kayu" atau "peti".
Dalam al-Quran kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang berisikan kitab Taurat. Bani Israil
di masa itu percaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan bila Tabot
ini muncul dan berada di tangan pemimpin mereka. Sebaliknya mereka akan
mendapatkan malapetaka bila benda itu hilang.
Masuk ke Bengkulu
Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di
Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara
berkabung para penganut paham Syi'ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan merupakan penganut Islam Syi‘ah.
Para pekerja yang merasa cocok dengan tatahidup masyarakat Bengkulu,
dipimpin oleh Imam Senggolo alias Syekh Burhanuddin, memutuskan tinggal
dan mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas, sekarang
dikenal dengan nama Kelurahan Tengah Padang. Tradisi yang dibawa dari
Madras dan Bengali diwariskan kepada keturunan mereka yang telah
berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli dan menghasilkan keturunan
yang dikenal dengan sebutan orang-orang Sipai.
Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami
asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan
dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan sebutan upacara Tabot. Upacara Tabot ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil.
Namun dalam perkembangannya, kegiatan Tabot menghilang di banyak
tempat. Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yaitu di
Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumbar (masuk sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik. Keduanya sama, namun cara pelaksanaannya agak berbeda.
Jika pada awalnya upacara Tabot (Tabuik) digunakan oleh orang-orang
Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, maka
sejak orang-orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi‘ah, upacara ini
dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga untuk yakni memenuhi wasiat
leluhur mereka. Belakangan, sejak satu dekade terakhir, selain
melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga dimaksudkan sebagai wujud
partisipasi orang-orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat.
Kondisi sosial budaya masyarakat, nampaknya, juga menjadi penyebab
munculnya perberbedaan dalam tatacara pelaksanaan upacara Tabot. Di Bengkulu, misalnya, Tabotnya berjumlah 17 yang menunjukkan kepada jumlah keluarga awal yang melaksanakan Tabot, sedangakan di Pariaman hanya terdiri dari 2 macam Tabot (Tabuik) yaitu Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa.
Tempat pembuangan Tabot (Tabuik) antara Bengkulu dan Pariaman juga
berbeda. Pada awalnya Tabot di Bengkulu di buang ke laut sebagaimana di
Pariaman Sumatera Barat. Namun, pada perkembangannya, Tabot di Bengkulu
dibuang di rawa-rawa yang berada di sekitar pemakaman umum yang dikenal
dengan nama makam Karbela yang diyakini sebagai tempat dimakamnya Imam Senggolo alias Syekh Burhanuddin.
Belakangan ini, banyak kritikan dari berbagai elemen masyarakat
terhadap pelaksanaan upacara Tabot. Satu hal yang paling mendasar dari
semua kritikan tersebut adalah berubahnya fungsi upacara Tabot dari
ritual bernuansa keagamaan menjadi sekedar festival kebudayaan belaka.
Ini nampaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa yang melaksanakan upacara
Tabot adalah orang-orang non-Syiah. Hilangnya nilai-nilai sakralitas
upacara Tabot semakin diperparah dengan munculnya apa yang kemudian
dikenal sebagai Tabot pembangunan (Tabot yang keberadaannya karena deprogram oleh pemerintah dan berjumlah banyak).
Peralatan-Peralatan upacara Tabot
Untuk melaksanakan upacara Tabot, ada beberapa peralatan yang harus dipersiapkan, diantaranya adalah:
Kelengkapan alat untuk membuat Tabot antara lain: bambu, rotan, kertas karton, kertas mar-mar, kertas grip, tali, pisau ukir, alat-alat gambar, lampu senter, lampu hias, bunga
kertas, bunga plastik dan lain sebagainya. Jika dilihat dari banyaknya
alat yang dibutuhkan, maka biaya yang dibutuhkan untuk membuat Tabot
sekitar 5-15 Juta rupiah.
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kenduri dan sesaji antara lain: beras ketan, pisang emas, tebu, jahe, dadeh, gula aren, gula pasir, kelapa, ayam, daging, bumbu masak, kemenyan dan lain-lain.
Alat-alat musik yang biasanya digunakan dalam upacara tabot adalah dol dan tessa. Dol terbuat dari kayu tengahnya dilubangi dan kemudian ditutup dengan menggunakan kulit lembu.
Dol berbentuk seperti beduk. Garis tengahnya sekitar 70 – 125 cm, dan
alat pemukulnya berdiameter 5 cm dan panjangnya 30 cm. Cara
menggunakannya dengan cara dipukul-pukul. Sedangkan Tessa berbentuk
seperti rebana, terbuat dari tembaga, besi plat atau alumunium, dan juga bisa dari kuali yang permukaannya ditutup degan kulit kambing yang telah dikeringkan.
Perlengkapan-perlengkapan lain yang harus dipersiapkan pada setiap unit Tabot adalah: Bendera merah putih ukuran rumah tangga berikut tiangnya, bendera panji-panji berwarna hijau atau biru yang ukurannnya lebih besar dari bendera merah-putih, bendera putih yang ukurannnya sama dengan panil (beserta tiangnya), tombak bermata ganda diujungnya digantung, duplikat pedang zufikar (pedang Rasulullah) dengan ukuran mini.
Nilai-Nilai
Secara umum, ada dua nilai yang terkandung dalam pelaksanaan upacara
Tabot, yaitu: nilai Agama (sakral), sejarah, dan sosial. Nilai-nilai
Agama (sakral) dalam upacara Tabot diantaranya adalah: satu, proses mengambik tanah mengingatkan manusia akan asal penciptaannya. Kedua, terlepas dari adanya pandangan bahwa ritual tabot mengandung unsur penyimpangan dalam akidah, seperti penggunaan mantera-mantera dan ayat- ayat suci dalam prosesi mengambik tanah, namun esensinya adalah untuk menyadarkan kita bahwa keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya lokal. Dan ketiga, pelaksanaan upacara Tabot merupakan perayaan untuk menyambutan tahun baru Islam.
Nilai sejarah yang terkandung dalam budaya tabot adalah sebagai manifestasi kecintaan dan untuk mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW yakni Husein bin Abi Thalib yang terbunuh di Padang Karbela dan juga sebagai ekspresi permusuhan terhadap keluarga Bani Umayyah pada umumnya dan khususnya pada Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah yang memerintah waktu itu, beserta Gubernur ‘Ubaidillah bin Ziyad
yang memerintahkan penyerangan terhadap Husain bin ‘AlĂ® beserta
laskarnya. Adapun nilai sosial yang terkandung didalamnya, antara lain:
mengingatkan manusia akan praktik penghalalan segala cara untuk menuju
puncak kekuasaan dan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial.
Banyak nilai-nilai kebijaksanaan yang dapat digali dan dijadikan
landasan untuk mengarungi kehidupan, tetapi jika tidak disikapi dengan
bijaksana, maka upacara Tabot akan menjadi sekedar festival budaya yang
kehilangan makna dasarnya. Meriah dalam pelaksanaan (festival) tapi
kehilangan sepiritnya.