APA JILBAB ITU?
Jilbab atau hijab secara syari’at merupakan bagian pakaian yang wajib
digunakan untuk menutupi kepala wanita hingga ke dadanya. Maka, sesuatu pakaian
dapat disebut hijab apabila menutupi kepala, leher, hingga dada. Tidak disebut
hijab jika hanya menutupi kepala saja, atau leher saja, atau hanya menutup dada
saja.
Dalilnya adalah:
“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…” [QS.
An-Nuur 24:31]
Allah tidak memerintahkan kepada para wanita: “Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung di kepalanya”, atau: “Dan hendaklah mereka menutupkan
kain di dadanya”, tetapi Dia berfirman: “Dan hendaklah mereka menutup kain
kudung ke dadanya.” Artinya ialah bahwa Allah menghendaki agar para wanita
menutup kain dari kepalanya hingga ke dadanya.
Dari ayat ini maka para wanita Muslimah perlu memperhatikan apa yang ia
pakai. Apakah benar-benar hijab yang sesuai hukum Allah, ataukah hanya kain
yang dihias-hias oleh tukang salon. Ingat, hijab bukanlah mode yang bertujuan
membuat wanita lebih cantik, justru hijab dipakai agar wanita terlindungi dari
fitnah. Itulah salah satu tujuan syari’at.
Dalilnya ialah:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59).
Imam Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang menggambarkan saat-saat setelah
turunnya ayat perintah menutup aurat, yaitu Surat Annur ayat 31:
(dan hendaklah mereka menutupkan khumur- jilbab- nya ke dada mereka…).
Riwayat lain menerangkan: “Wanita-wanita (ketika turun ayat tersebut) segera
mengambil kain sarung mereka, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai
jilbab.” (HR. Hakim).
Imam Bukhari juga meriwayatkan hal senada:
“Bahwasannya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Berkata: “Ketika turun ayat (dan
hendaklah mereka menutupkan “khumur” –jilbab- nya ke dada mereka…) maka para
wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya
sebagai jilbab.” (HR. Bukhari).
Dari kedua hadits di atas terdapat empat poin:
1.
Para wanita Arab di zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam belum
memakai hijab sehingga ketika turunnya ayat tersebut, mereka langsung mengambil
kain sarung dan menggunakannya sebagai hijab. Hadits ini sekaligus menjawab
perkataan orang-orang Jahil bahwa jilbab hanya tradisi orang Arab.
2.
Seandainya para wanita Arab sudah memakai penutup kepala, maka bisa
dipastikan bahwa yang mereka pakai hanyalah kain yang menutup kepala, bukan
hijab yang sesuai syar’i.
3.
Terdapat semangat di dalam diri para wanita pada zaman itu untuk tunduk
dan patuh kepada apa yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Terbukti dengan
mereka langsung membuat hijab dari potongan kain sarung. Mereka tidak punya
waktu untuk memodifikasinya karena memang hal tersebut adalah langsung dari
Allah. Ingat, Allah tidak melihat keindahan jilbabmu, tapi Dia melihat
bagaimana kamu dengan jilbabmu yang lebar itu bisa menepis fitnah untuk lelaki
dan bagaimana kamu mejalankan syari’at.
4.
Di antara para wanita di zaman Rasulullah tersebut tentu ada yang baru
masuk Islam atau ahli maksiat. Namun, setelah turunnya ayat kewajiban hijab,
maka mereka langsung melakukannya. Tak ada wanita yang beralasan seperti wanita
di zaman sekarang yang menolak hijab dengan alasan: “Aku belum siap”, atau
“Jilbab hanya untuk wanita sholehah”.
AKU BELUM SIAP
Di antara alasan-alasan umum yang dikemukakan wanita Muslimah yang belum
berjilbab ialah: “Aku belum siap”. Jika kita cermati, alasan ini kurang bisa
diterima dari segi akal maupun dalil dengan sebab sebagai berikut:
1.
Ini bisa kita analogikan sebagai berikut: Ketika kita mengajak seseorang
untuk sholat wajib lima waktu, kemudian orang itu menolak dengan alasan: “Aku
belum mau sholat lima waktu karena belum siap.” Padahal kewajiban memakai
jilbab lebih mudah daripada sholat, yang kamu butuhkan hanya jilbab yang cukup
hingga menutup dada, rok panjang dan lebar, dan baju yang agak panjang dan
tidak ketat. Kalau mau yang lebih efektif bisa memakai pakaian sejenis daster
dimana baju dan roknya menyatu. Memakai jilbab tidak seperti orang naik haji,
atau membayar zakat, atau menyembelih kambing yang dibutuhkan kemampuan,
sehingga alasan: “Aku belum siap” bukanlah udzur dan tidak ada keringanan.
2.
Kita tanyakan kepada wanita yang beralasan “Aku belum siap”: “Kapankah
kamu siap? Bisa jadi kamu mati dalam keadaan belum siap berjilbab.” Terkadang
di antara mereka ada yang meyakini kalau mereka siap berjilbab kalau sudah
menikah. Apakah mereka yakin mereka akan hidup di saat itu?
3.
Dari segi dalil maupun ijma’, tak ada satu pun ayat Al-Qur’an, hadits,
pendapat ulama dimana wanita yang berjilbab harus menyiapkan sesuatu khusus
terlebih dahulu. Bahkan dari hadits yang telah kita bahas di atas, para wanita
Arab di zaman Rasulullah yang tentunya di antara mereka ada yang baru saja
masuk Islam langsung membuat hijab ketika turunnya ayat yang mewajibkan hijab.
Tidak ada di antara mereka yang beralasan: “Ya Rasulullah, bolehkah aku tidak
memakai jilbab karena aku belum siap?” Dalil ini juga langsung membantah
pernyataan bahwa wanita yang pantas berjilbab hanyalah wanita sholehah atau
yang ilmu agamanya luas. Semua wanita Muslimah yang sudah akil baligh WAJIB
berjilbab.
KEBATILAN ANGGAPAN JILBAB HATI
Sebagian orang yang mengikuti hawa nafsu berkata bahwa jilbab tidaklah
penting yang terpenting adalah jilbab hati. Maka, tanyakanlah lagi kepada orang
tersebut: “Bagaimana jilbab hati yang benar itu?” Pernyataan seperti ini sangat
dekat dengan bid’ah-bid’ah[1] yang dibuat oleh orang-orang Nasrani
yang tidak bersunat, ketika mereka ditanya: “Yesus dikhitan pada hari ketujuh
setelah kelahirannya, mengapa banyak di antara kalian yang tidak khitan? Mereka
menjawab: ‘Yang penting bagi kami adalah SUNAT HATI!’”
Maka bertakwalah sekelompok orang yang menyelisihi sunah Rasulullah dan
syari’at yang telah ditetapkan Allah dalam agama yang mulia ini.
Kemudian ada pula yang mengatakan: “Untuk apa berjilbab kalau kelakuannya
bejat? Lebih baik tidak berjilbab tapi kelakuannya baik.”
Maka, kita katakan kepada orang seperti ini: “Berjilbab saja kelakuannya
bejat, apalagi tidak berjilbab? Seandainya ada wanita tidak berjilbab
berpengarai baik, tentu lebih baik lagi apabila ia berjilbab.”
Belum satu pun saya temui ayat Al-Qur’an, hadits, atau pendapat ulama yang
berkata tentang adanya “Jilbab hati”. Bisa jadi ini adalah perkara baru yang
diada-adakan.
BOLEHKAH AKU MEMAKAI JILBAB DAN MELEPASNYA SEKALI-KALI?
Terkadang ada saja pertanyaan terlontar dari para Jilbabers, para wanita
yang masih belajar memakai jilbab, atau yang berencana memakai jilbab:
“Bolehkah aku memakai jilbab dan melepasnya sekali-kali?”
Jawaban: BOLEH
Hal ini disebabkan tidak mungkinnya para wanita Muslimah memakai jilbab
terus menerus. Ada saat dimana ia melepas jilbabnya. Yaitu di saat mandi, tidur
di dalam kamarnya, di saat berdua dengan suami, atau saat berkumpul hanya
dengan keluarganya di dalam rumah selama ia yakin tak ada orang non-mahrom yang
melihatnya tanpa jilbab. Sebab Allah Azza wa Jalla berfirman:
“…dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [QS. An-Nuur 24:31]
Maksud dari ayat ini ialah seorang wanita boleh saja membuka jilbabnya di
hadapan suami, ayah, mertua, anak, saudara, keponakan, teman-temannya sesama
Muslimah, pembantu / budak yang tidak punya syahwat karena lanjut usia atau
karena dikebiri[2], atau bocah di bawah umur yang belum mengerti
apapun tentang aurat (untuk bocah di zaman sekarang dan akibat dari negeri
berpaham sekuler[3] kira-kira di bawah tujuh tahun).
SIAPAKAH YANG PERTAMA KALI TERBUKA AURATNYA?
Nenek moyang kita, Adam ‘alayhis salam dan isterinya adalah manusia
pertama yang terbuka auratnya setelah keduanya diperdaya oleh syaitan:
“Hai anak cucu Adam! Jangan sampai kamu dapat diperdayakan oleh syaitan,
sebagaimana mereka telah dapat mengeluarkan kedua orang tuamu (Adam dan Hawa)
dari syorga, mereka dapat menanggalkan pakaian kedua orang tuamu itu supaya
kelihatan kedua auratnya.” (Q. S. Al-A’raf: 27)
Allah memperingatkan kita agar jangan melakukan kesalahan yang sama, salah
satunya yaitu memamerkan aurat di depan orang-orang yang seharusnya tidak
pantas melihat aurat kita. Sebab yang demikian merupakan salah satu tipu daya
setan.
Setan telah berhasil membujuk kaum hawa untuk tidak menutup auratnya
sesuai syari’at dengan membisikkan kata-kata yang manis: “Jangan berjilbab,
karena engkau belum siap. Kamu masih suka bermaksiat, janganlah berjilbab.
Pengetahuan Islammu masih awam, tak perlu berjilbab. Berjilbabnya nanti saja
ketika sudah menikah, kalau sekarang kamu berjilbab tak ada laki-laki yang mau
dekat sama kamu. Yang penting jilbab hati dulu.” Begitulah pekerjaan setan,
sama seperti ketika mereka membujuk nenek moyang kita untuk memakan buah
terlarang.
Demikianlah artikel tentang jilbab ini dibuat. Adapun jika kurang jelas,
kurang lengkap, atau terdapat kesalahan padanya semata-mata karena keterbatasan
ilmu dan kelupaan penulis. Namun, semoga artikel ini dapat membantu memberikan
pencerahan dan motivasi kepada saudari-saudari saya.
Yang belum berjilbab, hendaklah berjilbab. Yang sudah berjilbab, hendaklah
memperbaiki jilbabnya. Yang telah berjilbab dengan baik, bantulah yang belum
berjilbab.
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan
asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no.
208)
Dalam riwayat lain:
“Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang asing itu?” Beliau
menjawab, “Orang-orang yang berbuat baik jika manusia telah rusak.” (HR. Ahmad
13/400 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’ no.
7368)
Teruslah berbuat baik, walau orang-orang di sekelilingmu berbuat maksiat.
Jadilah dirimu sendiri. Sebab orang jahat menilaimu dari pikiran jahatnya dan
mereka pasti suka engkau berbuat jahat, sedangkan orang baik menilaimu dari
pikiran baiknya dan mereka pasti suka engkau berbuat baik.
Wabillahi taufiq wal hidayah…
Semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah kepada kita, dan memudahkan
kita untuk selalu berbuat baik kapanpun dan dimanapun kita berada.
“Dialah (Allah) yang telah menamakan kamu sekalian Muslimin dari dulu dan
didalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan
supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dialah Pelindungmu,
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Q. S. Al Hajj:78)
Wassalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh…
[1] Bid’ah = ajaran baru yang tidak berasal dari
Allah dan rasul-Nya. Ingat hadits: “…Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid’ah,
dan tiap bid’ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka.” (HR.
Muslim)
[2] Sebutan populer: Kasem, yaitu budak istana
yang dikebiri atau dipotong alat kelaminnya, tetapi sudah tidak ada di zaman
sekarang, bahkan ada kasus kakek-kakek yang memperkosa anak gadis.
[3] Sekuler atau sekulerisme ialah paham yang memisahkan
agama dari sendi-sendi kehidupan. Termasuk anggapan bahwa agama merupakan
urusan masing-masing individu, dan juga anggapan bahwa agama hanya dibutuhkan
di dalam masjid. Sebab dari menyebarnya paham ini di negeri kita, banyak
lembaga-lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan paham keislaman yang
benar terhadap para siswanya. Sehingga pernah ada kasus pembagian kondom gratis
kepada siswa usia sekolah dasar untuk memperingati hari AIDS sedunia.
sumber :
http://w-afif-mufida-fk12.web.unair.ac.id/artikel_detail-71019-Islam%20is%20Wonderful-Mengapa%20Harus%20Berjilbab.html