Selasa,
1 Oktober 2013, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Walau umumnya rakyat Indonesia masih mengenang atau mengingatnya, namun
ada pro dan kontra tentang peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu.
Peringatan
Hari Kesaktian Pancasila pada dasarnya adalah untuk memperkukuh
Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa. Hal itu perlu kita
sadari dalam rangka mengembalikan Pancasila sebagai dasar dan arah
paradigmanya yang selama ini cenderung dilupakan, bahkan mungkin hendak
ditinggalkan.
Peringatan
Hari Kesaktian Pancasila perlu dijadikan media refleksi untuk
merenungkan bagaimana bangsa Indonesia saat ini menggunakan Pancasila
untuk hidup berbangsa dan bernegara. Dalam masa transisi ke arah
demokrasi yang sebenarnya saat ini, ternyata telah terjadi krisis dan
disintegrasi moral dan mental.
Dalam
rangka mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat
terpanggil untuk membela dan merevitalisasi Pancasila yang sedang berada
di ambang bahaya. Dalam konteks merevitalisasi Pancasila sebagai dasar
negara menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, seluruh lapisan
masyarakat harus menyadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar
negara atau ideologi, maka suatu bangsa akan mustahil untuk
mempertahankan survival-nya.
Revitalisasi
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai makna bahwa Pancasila harus
kita letakkan dalam keutuhan dengan pembukaan, dan dieksplorasikan
sebagai paradigma dalam dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Hasrat
politik untuk bersatu tidak diimposisi dari atas, tetapi merupakan
pergerakan kemasyarakatan, di mana semua kelompok masyarakat bangsa yang
majemuk ini ikut serta secara aktif.
Jiwa
dan semangat Pancasila lahir dari pertemuan hasrat dan kehendak politik
pergerakan masyarakat dan dari kesadaran para pendiri negara ini. Dari
kancah perjuangan persatuan dan persatuan bangsa dan negara itulah
ditemukan formulasi kearifan kenegarawanan dalam falsafah negara
Pancasila.
Penetapan
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara bukanlah pekerjaan
yang sederhana. Proses pengesahannya melalui jalan yang panjang, penuh
perdebatan yang berbobot, rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib
bangsa dan negara di kemudian hari, tetapi juga penuh dengan rasa
persaudaraan yang akrab.Kiranya
perlu disadari pula bahwa kebinekaan maupun kesatuan-kesatuan Indonesia
adalah suatu kenyataan dan suatu persoalan. Walaupun proses integrasi
bangsa terus berjalan, namun potensi-potensi yang disintegratif belum
hilang, bahkan amat mungkin tidak pernah akan hilang. Hal itu sebagai
konsekuensi kita mendasarkan diri pada Pancasila. Sebab, Pancasila
dengan karakter utamanya yang inklusif dan non-diskriminatif, tidak
melihat kebinekaan dan kesatuan-persatuan sebagai suatu perlawanan,
melainkan merangkul kedua-duanya.
Pancasila
amat menekankan kesatuan-persatuan, tetapi tanpa mematikan atau
melenyapkan kebinekaan. Di pihak lain, Pancasila menerima serta
menghargai kebinekaan, tetapi dalam batas tidak membahayakan atau
menghancurkan kesatuan-persatuan. Kebinekaan dalam kesatuan-persatuan
dan kesatuan-persatuan dalam kebinekaan. Di sinilah letak kesaktian
Pancasila.
Dalam
konstelasi masyarakat Indonesia, memilih kesatuan-persatuan dengan
mematikan kebinekaan hanya akan menghasilkan konflik-konflik yang
mungkin diketahui di mana awalnya, tapi tak pernah dapat diduga di mana
atau bagaimana akan berakhir. Sebaliknya, memilih kebinekaan dengan
mengabaikan kesatuan-persatuan ibarat melepas bermacam-macam binatang
buas dalam satu kandang, sehingga akan saling menerkam.
Kerangka
dasar kehidupan nasional yang mendasarkan diri pada Pancasila akan
melihat keragaman suku, agama, ras sebagai aset atau kekayaan bangsa.
Namun, jiwa dan semangat Pancasila juga punya batas-batas yang
menyangkut tetap tegaknya kesatuan-persatuan agar kebinekaan itu tetap
berfungsi sebagai kekayaan dan modal bangsa, jangan berfungsi
sebaliknya.
Pada
masa penjajahan, kebinekaan dijadikan alat untuk memecah belah bangsa
kita. Dalam konteks Indonesia merdeka, keadaan memang berubah cukup
fundamental. Namun, ini pun belum menyelesaikan seluruh persoalan.
Ketika diputuskan untuk membentuk negara kesatuan Republik Indonesia,
semua kelompok dalam masyarakat terikat satu sama lain dalam satu
kesatuan-persatuan secara politis. Setelah melalui fase transisi, dapat
dikatakan bahwa kesatuan-persatuan politis itu tetap mantap, tapi
kesatuan-persatuan berbangsa dan bernegara masih terkotak-kotak.
Bertolak
dari persoalan tersebut, barangkali faktor keselamatan seluruh rakyat
itulah yang kiranya tetap merupakan perekat. Ada nasionalisme dan
patriotisme, namun lebih ke dalam, antarkita dengan manifestasi
ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke belakang
kepentingan dan ambisi pribadi, golongan, atau suku lewat jalan
Pancasila.
Jalan
Pancasila tidak bisa dikatakan sebagai jalan yang mudah, tetapi sejak
awal memang telah disadari bahwa memilih jalan Pancasila memang berarti
memilih jalan yang tidak mudah. Juga tidak dikatakan bahwa
pembatasan-pembatasan yang bersifat eksternal tidak diperlukan. Tetapi,
yang mesti jelas adalah pembatasan-pembatasan eksternal saja tidaklah
cukup. Itu mungkin dapat mencegah perpecahan, tetapi tidak dapat
menumbuhkan kesatuan dan persatuan.
Adapun
aturan main atau konsensus tersebut juga harus bersifat dinamis, tidak
sekali jadi, tetapi terus menjadi selalu terbuka untuk dikembangkan
dalam dan melalui proses pengalaman bersama.
Rakyat
sudah jenuh dengan pengotak-ngotakan yang mencetuskan konflik-konflik
horizontal. Rakyat mengharapkan para pemimpin negeri ini benar-benar
mampu memperbaiki keadaan. Janganlah kepentingan rakyat dinomorduakan
atau diadu domba untuk ambisi pribadi atau golongan.
Bangsa
ini masih memerlukan momen-momen yang mampu menggugah kesadaran akan
pentingnya Pancasila. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara harus
kita jaga dan kita pertahankan dengan segala cara. Tanpa Pancasila,
negeri ini akan digerogoti oleh bangsanya sendiri.