Tepat tanggal 1 oktober, kita kembali memperingati hari yang sangat
krusial bagi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik
Indonesia.
Mungkin kini banyak yang lupa atau bahkan melupakan
hari kesaktian Pancasila, sebab seiring perkembangan teknologi dan
informasi yang semain pesat, kita pun seakan terbius untuk melupakan
sejarah yang sangat penting sebagai wujud terbentuknya dasar negara
kepulauan, Indonesia.
Peringatan Kesaktian Pancasila ini berakar pada sebuah peristiwa tanggal 30 September 1965.
Konon, ini adalah awal dari Gerakan 30 September (G.30.S/PKI).
Oleh pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis.
Pada saat itu setidaknya ada enam orang Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta.
Namun, berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan.
Maka, tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila dalam sejarah Republik Indonesia.
Makna Kesaktian Pancasila
Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan.
Melainkan juga Pancasila dapat dikatakan sebagai sumber moralitas
terutama dalam hubungan dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta
berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Pancasila mengandung berbagai makna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makna yang pertama Moralitas,
sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung pengertian bahwa
negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang hanya berdasarkan
kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius.
Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi
religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi
demokrasi. Oleh karenanya asas sila pertama Pancasila lebih berkaitan
dengan legitimasi moralitas.
Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para
pejabat negara, serta para penegak hukum, haruslah menyadari bahwa
selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis yang kita junjung,
juga harus diikutsertakan dengan legitimasi moral. Misalnya, suatu
kebijakan sesuai hukum, tapi belum tentu sesuai dengan moral.
Salah satu contoh yang teranyar yakni gaji para pejabat penyelenggara
negara itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang
sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi moral).
Hal inilah yang membedakan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa
dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak
mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan
negara harus sesuai dengan nilai-nilai Tuhan terutama hukum serta moral
dalam kehidupan bernegara.
Makna kedua Kemanusiaan, “Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab” mengandung makna bahwa negara harus menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab, selain
terkait juga dengan nilai-nilai moralitas dalm kehidupan bernegara.
Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian
dari umat manusia di dunia hidup secara bersama-sama dalam suatu wilayah
tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi
kesejahteraan bersama.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai suatu kesadaran
sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi
nurani manusia dalam hubungan norma-norma baik terhadap diri sendiri,
sesama manusia, maupun terhadap lingkungannya.
Oleh Karena itu, manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat
fundamental dan mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam
kehidupan negara kemanusiaan harus mendapat jaminan hukum, maka hal
inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asas)
manusia. Selain itu, asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar
moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Makna ketiga, Keadilan.
Sebagai bangsa yang hidup bersama dalam suatu negara, sudah barang
tentu keadilan dalam hidup bersama sebagaimana yang terkandung dalam
sila II dan V adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Nilai
kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa pada hakikatnya
manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil.
Dalam pengertian hal ini juga bahwa hakikatnya manusia harus adil
dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil
terhadap lingkungannya, adil terhadap bangsa dan negara, serta adil
terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta
pembagian senantiasa harus berdasarkan atas keadilan. Pelanggaran atas
prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan
ketidakseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makna keempat, Persatuan. Dalam
sila “Persatuan Indonesia” sebagaimana yang terkandung dalam sila
III, Pancasila mengandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan
sifat kodrat manusia monodualis, yaitu sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama
diantara elemen-elemen yang membentuk negara berupa suku, ras, kelompok,
golongan, dan agama. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi
tetap satu sebagaimana yang tertuang dalam slogan negara yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Makna kelima, Demokrasi. Negara
adalah dari rakyat dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah
merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan
terkandung makna demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam
kehidupan bernegara. Maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam
Pancasila adalah adanya kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinannya,
adanya kebebasan berkelompok, adanya kebebasan berpendapat dan
menyuarakan opininya, serta kebebasan yang secara moral dan etika harus
sesuai dengan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seandainya nilai-nilai Pancasila tersebut dapat
diimplementasikan sebagaimana yang terkandung di dalamnya, baik oleh
rakyat biasa maupun para pejabat penyelenggara negara, niscayalah
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara bukanlah hal yang
mustahil untuk diwujudkan secara nyata.
Terlebih lagi hingga kini kita selaku bangsa tentulah malu terhadap
para pendiri negara yang telah bersusah payah meletakkan pondasi negara
berupa Pancasila, sedangkan kita kini seakan lupa dengan tidak
melaksanakan nilai-nilai Pancasila yang sangat sakti tersebut.
Perilaku KKN, kerusuhan antar sesama warga negara,
ketidakadilan dan ketimpangan sosial, berebut jabatan, perilaku asusila,
serta berbagai perilaku abmoral lainnya adalah segelintir perilaku yang
hanya dapat merusak nilai Pancasila itu sendiri. Kini, Marilah kita
kembali junjung tinggi nilai-nilai Pancasila agar kita tetap dipandang
sebagai bangsa dan negara yang beradab, beragama, beretika, dan
bermoral.