A. HUKUM
Sukar kiranya untuk memberikan suatu definisi tentang hukum. Beberapa
perumusan yang ada, masing-masing menonjolkan segi tertentu dari hukum.
Di dalam bukunya “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, Utrecht memberikan
batasan hukum sebagai himpunan eraturan-peraturan (perintah-perintah
atau larangan-Iarangan) yang mengurus tata tertib dalam masyarakat dan
karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. Selain Utrecht beberapa
Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah pula merumuskan definisi hukum. Di
antaranya adalah JCT. Simorangkir SH. Dan Woerjono Sastropranoto SH. yang mendefinisikan hukum sebagai peraturanperaturan yang memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat
oleh Badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap
peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan
hukuman tertentu.
1. Ciri-ciri dan Sitat Hukum
Agar dapat mengenal hukum lebih jelas, maka kita perlu mengenal ciri dan
sifat dari hukum itu sendiri. Ciri hukum adalah : adanya perintah atau
larangan perintah atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang. Agar
tata tertib dalam masyarakat dapat dilaksanakan dan tetap terpelihara
dengan baik, perlu ada peraturan yang mengantur dan memaksa tata tertib
itu untuk ditaati yang disebutkaidah hukum. Dan kepada barangsiapa yang
melanggar baik disengaja atau tidak, dapat dikenai sangsi yang berupa
hukuman. Akan tetapi ternyata tidak setiap orang mau menaati kaidah
hukum tersebut, oleh karena itu agar peraturan hidup itu benar-benar
dilaksanakan dan ditaati, maka perlu dilengkapi dengan unsur memaksa.
Dengan demikian hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Sehingga
hukum menjadi peraturan hidup yang dapat memaksa orang untuk menaati
serta dapat memberikan sangsi tegas terhadap setiap orang yang tidak mau
mematuhinya.
2. Sumber-sumber Hukum
Ialah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang memaksa, yang kalau dilanggar dapat mengakibatkan sangsi
yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat ditinjau dari segi formal dan
segi material. Sumber hukum material dapat kita tinjau lagi dari
berbagai sudut, misalnya dari sudut politik, sejarah, ekonomi dan
lain-lain. Sedangkan sumber hukum formal antara lain ialah :
a. Undang-undang (Statute) Ialah suatu peraturan negara yang mempunyai
kekuasaan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa
negara;
b. Kebiasaan (Costum) Ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan
berulang-ulang dalam hal yang sarna dan diterima oleh masyarakat.
Sehingga tindakan yang berlawanan dianggap sebagai pelanggaran perasaan
hukum.
c. Keputusan-keputusan hakim (Yurisprudensi) Ialah keputusan hakim
terdahulu yang sering dijadikan dasar keputusan hakim kemudian mengenai
masalah yang sama.
d. Traktat (Treaty) Ialah perjanjian antara dua orang atau lebih
mengenai sesuatu hal, sehingga masing-masing pihak yang bersangkutan
terikat dengan isi perjanjian tersebut.
e. Pendapat Sarjana Hukum Ialah pendapat para sarjana yang sering dikutip para hakim dalam menyelesaikan suatu masalah.
3. Pembangian Hukum
a. Menurut “sumbernya” hukum dibagi dalam :
Hukum Undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan. Hukum Kebiasaan, yaitu hukum yang terletak pada
kebiasaan (adat) Hukum Traktat, ialah hukum yang ditetapkan oleh
negara-negara dalam suatu perjanjian antar negara. Hukum Yurisprudensi,
yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
b. Menurut “bentuknya” hukum dibagi dalam Hukum tertulis, yang terbagi lagi atas :
hukum tertulis yang dikodifikasikan ialah hukum tertulis yang telah
dibukukan jenis-jenisnya dalam kitab undang-undang secara sistematis dan
lengkap. hukum tertulis tak dikodifikasikan. Hukum tak tertulis.
c. Menurut “tempat berlakunya” hukum dibagi dalam:
Hukum Nasional ialah hukum dalam suatu negara. Hukum Internasional ialah
hukum yang mengatur hubungan internasional. Hukum Asing ialah hukum
dalam negara lain. gereja ialah norma gereja yang ditetapkan untuk
anggotaanggotanya.
d. Menurut “waktu berlakunya” hukum dibagi dalam:
Ius Constitutum (hukum positif) ialah hukum yang berlaku sekarang hagi
suatu masyarakat tertentu da1am suatu daerah tertentu. Ius Constituendum
ialah hukum yang diharapkan akan berlaku di waktu yang akan datang.
Hukum Asasi (hukum alam) ialah hukum yang berlaku dalam segala bangsa di
dunia.
e. Menurut “cara mempertahankannya” dibagi dalam :
Hukum material ialah hukum yang memuat peraturan yang mengatur
kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh : Hukum Perdata, dan lain-lain. Oleh karena itu,
bila kita berbicara Hukum Pidana atau Perdata, maka yang dimaksud adalah
Hukum Pidana atau Perdata material.
Hukum Formal (Hukum Proses atau Hukum Acara) ialah hukum yang memuat
peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan
mempertahankan hukum material atau peraturan yang mengatur bagaimana
cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana
caranya hakim memberi putusan. Contoh : Hukum Acara Pidana dan Hukum
Acara Perdata.
f. Menurut “sifatnya’” hukum dibagi dalam :
Hukum yang memaksa ialah hukum yang dalam keadaan bagaimana harus dan
mempunyai paksaan mutlak. Hukum yang mengatur (pelengkap) ialah hukum
yang dapat dikesampingkan, apabila pihak yang bersangkutan telah membuat
peraturan sendiri dalam perjanjian.
g. Menurut “wujudnya” hukum dibagi dalam
Hukum Obyektif ialah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan
tidak mengenai orang utau golongan tertentu. Hukum Subyektif ialah hukum
yang timbul dari hubungan obyektif dan berlaku terhadap seseorang
tertentu atau lebih. Kedua jenis hukum ini jarang digunakan.
h. Menurut “isinya’” hukum dibagi dalam :
Hukum Privat (Hukum Sipil) ialah hukum yang mengatur hubungan antara
orang yang satu dengan yang lainnya, dan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan. Hukum Publik (Hukum Negara) ialah hukum yang
mengatur hubungan antara negara dan alat perlengkapan atau negara dengan
warganegaranya.
Negara sebagai organisasi dalam suatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan dan warganegaranya,
serta menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan
dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh warga negara,
golongan atau oleh negara sendiri.
Oleh karena itu negara mempunyai dua
tugas pokok :
1) Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan asosial, artinya
bertentangan satu sarna lain supaya tidak menjadi antagonisme yang
membahayakan.
2) Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongangolongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruh atau tujuan sosial. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan
sistem hukum dan dengan perantara pemerintah beserta lembaga-Iembaganya.
Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang teratur dan paling kuat,
oleh karena itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan
kekuasaan hams dapat menetapkan diri dalam rangka ini. Pentingnya sistem
hukum ini sebagai perlindungan, bagi kepentingankepentingan yang telah
melindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan.
Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan
perlindungan kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat
untuk melindunginya mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang
tidak teratur. Bahkan berarti kepentingan warga masyarakat tidak
terpenuhi oleh kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan, tetapi tidak
cukup terlindungi atau terjamin. Sebab mungkin saja terlaksana dengan
kaidah tersebut, untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah
dilindungi kaidah-kaidah tadi perlu sistem hukum. Hukum yang mengatur
kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat disebut hukum
positif. Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai “differentie”
dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat, tampil lebih
jelas, tegas dan didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti
anggota masyarakat. Sebagai atribut positif ini adalah: Pertama,
bukanlah kaidah sosial yang mengambang atau tidak jelas bentuk dan
tujuannya. Sehingga dibutuhkan lembaga khusus yang bertujuan merumuskan
dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh hukum. Kedua, dibutuhkan
staf (personalia) yang menjaga berlakunya hukum, seperti posisi,
kejaksaan dan pengadilan. Sifat dan peraturan hukum tersebut adalah
memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih dalam, pengertian memaksa
bukanlah senantiasa dipaksakan apabila tindakan sewenang-wenang. Sebab
hukum itu sebagai kongkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat, yang perlu mempertimbangkan tiga hal yaitu : Sistern
norma, sebagai sistern kontrol dan sebagai sistem engineering (pemegang
kekuasaan memelopori proses pengkaidahannya). Sehingga hukum diartikan
sebagai serumpunan peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk
melindungi kepentingankepentingan orang dalam masyarakat.
Hukum tidak lain hanyalah merupakan sarana bagi pemerintah atas
tangantangan yang berkuasa untuk mengerahkan cara berpikir dan bertindak
dalam rangka kebijakan tujuan nasional. Dalam kediriannya secara intern
tidak ada sangkut-paut dengan “kaidah” dan “kebenaran” dalam makna dan
hakiki yang sebenarnya, dalam rangka konseptualisasi hukum selalu
berpihak, selalu berwarna dan memang yang terpancangdalam kamus hukum
hanya dirasakan dan dialami, bermakna dan berwujud relatif serta
karakter dari sosial, budaya, struktural dan agama sekalipun. Agar
masyarakat siap memakai hukum positif, perlu mempelajari manajemen hukum
dan kultur hukum. Sebab sistem hukum terurai dalam tiga komponen yaitu :
(1) Substansi, (2) Struktur dan (3) Kultur. Manajemen hukum memikirkan
bagaimana mendayagunakan sumber daya dalam masyarakat untuk mengatur
masyarakat melalui hukum. Kultur hukum adalah nilai dan sikap dalam
masyarakat mengenai hukum. Untuk menganalisa lebih tajam apa sebenarnya
hukum, maknanya, peranannya, dampaknya dalam proses interaksi dalam
masyarakat, perlu dipelajari 10 aspek penganalisa yaitu :
1) Jangan mengindentifikasikan “hukum” dengan “kebenaran keadilan”.
2) Tidak dengan sendirinya harus adil dan benar.
3) Hukum tetap mengabdikan diri untuk menjamin kegiatan rnasa sistern dan bentuk pernerintahan.
4) Meskipun rnengandung unsur keadilan atau kebaikan tidak selarnanya disarnbut dengan tangan terbuka.
5) Hukurn dapat diidentifikasikan dengan kekuatan atas kekuasaan.
6) Macarn-rnacarn hukurn terlalu dipukulratakan.
7) Jangan apriori bahwa hukum adat lebih baik dari hukurn tertulis.
8) Jangan rnencarnpur-adukkan substansi hukurn dengan cara atau proses sarnpai terbentuk dasar diundangkannya hukurn.
9) Jangan rnencarnpur-adukkan “law in activis” dengan “law in books” dari aparat penegak hukurn.
10) Jangan inenganggap sarna aspek terjang penegak hukurn dengan hukurn.
Oleh karena itu hukurn tidak dapat dipaharni tanpa rnernperhatikan
faktor sosial budaya dan struktur negara, dan rnasyarakat tidak rnungkin
bermakna dan berada t. ’1pa hukurn, rnulai bayi sarnpai dewasa,
rnenikah dan rneinggal dunia perlu ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya, bahkan “masuk surga” sekalipun.
Bagi masyarakat modern atau masyarakat primitif, hukum akan selalu
berfungsi, sebab hukum dapat diartikan sebagai hukum tertulis dan tidak
tertulis. Tidak tertulisnya hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan tidak mengurangi keberadaan dan kehadiran hukum.
Hanya bentuk, perwujudan dan penampilannya yang tidak dapat dibayangkan
seperti pada masyarakat sekarang. Apakah hukum itu dalam embrionya
bertumbuh dari cara (usage) menuju ke kebiasaan (folk-ways), terus ke
kelakuan (costum), untuk kemudian ke hukum adat, dan entah dari tahap
mana dan kapan hukum tertuli~ menampakkan diri. Dalam menganalisa adanya
pencampur-adukan menganalisir hukum sampai diungkapkannya hukum, perlu
dimiliki pengetahuan sosial, budaya dan struktur masyarakat Indonesia
serta melepaskan diri dari prasangka atau praduga tak bersalah. Dalam
pemahaman sosiologis, hadirnya hukum adalah untuk diikuti atau
dilanggar. Tetapi ada perilaku yang tidak sepenuhnya digolongkan kepada
mematuhi hukum atau melanggar hukum yaltu penyimpangan sosial.
Penyimpangan sosiallebih luas daripada pelanggaran hukum, yaitu
perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah yang ada sebagai unsur yang
membentuk tatanan sosial. Penyimpangan sosial tidak segera mempunyai
arti pelanggaran hukum, dapat pula mengandung arti suatu penafsiran
terhadap kaidah hukum yang formal. Hukum sebagai kerangka luar, lebih
banyak memuat stereotip perbuatan daripada diskripsi mengenai perbuatan
itu sendiri; akan berhadapan dengan tatanan di dalam daripada kehidupan
sosial yang lebih substansial sifatnya, sehingga orang cenderung untuk
memberikan penafsirannya sendiri terhadap hukum, dan yang demikian lalu
hanya berfungsi sebagai pedoman saja. Penafsiran itu membuat hukum
menjadi terang terhadap keadaan kongkrit dalam masyarakat. Antara
penyimpangan sosial dan hukum terdapat hubungan yang erat, di mana hukum
diminta bantuan untuk mencegah dan menindak terjadinya penyimpangan.
Ancaman pidana terhadap pencurian, pembunuhan, penggelapan dan
sebagainya adalah contoh-contoh dari pengangkatan perilaku sosial yang menyimpang ke dalam hukum. Tetapi tidak semua bentuk
penyimpangan sosial dapat diangkat menjadi hukum, sebab ada persyaratan
minimum etis, artinya ada ambang batas bagi pencantumannya ke dalam
hukum seperti perilaku kebenaran pada anak-anak muda. Akhirnya, dapatlah
dikatakan mudah untuk menilai hukum, perlu waktu panjang, bertahap dan
hukum ingin memanusiakan manusia itu sendiri.
B. NEGARA
Negara merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebagai
organisasi, negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap
semua golongan kekuasaan serta dapat menetapkan tujuan hidup bersama.
Dengan perkataan lain, negara mempunyai 2 tugas utama, yaitu :
1. Mengatur dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lainnya.
2. Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongan untuk
menciptakan tujuan bersama yang disesuaikan dan diarahkan pada tujuan
negara.
Dengan demikian, sebagai organisasi, negara mempunyai kekuasaan yang paling kuat dan teratur.
a) Sitat-sitat Negara.
Sebagai organisasi kekuasaan tertinggi, negara mempunyai sifat khusus
yang tidak melekat pada organisasi lain. Sifat tersebut melekat pada
negara karena penjelmaan (Manifestasi) dari kedaulatan yang dimiliki.
Adapun sifat tersebut adalah :
1) Sifat memaksa, artinya negara mempunyai kekuasaan untuk menggunakan
kekerasan fisik secara legal agar tercapai ketertiban dalam masyarakat
dan mencegah timbulnya anarkhi.
2) Sifat monopoli,artinya negara mempunyai hak kuasa tunggal dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.
3) Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan perundang-undangan mengenai semua orang tanpa kecuali.
b) Bentuk Negara
Dari erat tidaknya serta sifat hubungan suatu negara ke dalam maupun ke
luar, dapat kita bedakan antara bentuk negara dan bentuk kenegaraan.
Disebut bentuk negara jika hubungan suatu negara ke dalam (dengan
daerahdaerahnya) maupun ke luar (dengan negara lain) ikatannya merupakan
suatu negara. Sedang bentuk kenegaraan ialah jika hubungan ke dalam
maupun ke luarnya, ikatannya merupakan suatu negara.
Dalam teori modern sekarang ini, bentuk negara yang terpenting adalah: Negara Kesatuan dan Negara Serikat.
1) Negara Kesatuan (Unitarisme)
Adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, di mana kekuasaan untuk
mengurus seluruh permerintah dalam negara itu berada pada Pusat. Ada 2
macam bentuk negara Kesatuan, yaitu :
(a) Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi. Di dalam sistem ini,
segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus Pemerintah Pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah Pusat memegang seluruh kekuasaan dalam
negara. Keuntungannya :adanya peraturan yang sarna di seluruh negar
penghasilan daerah dapat digunakan untuk keperluan seluruh negara.
Kerugiannya : menumpuknya pekerjaan di Pemerintah Pusat; terlambatnya
putusanputusan dari Pusat; keputusan sering tidak cocok dengan keadaan
daerah; rakyat kurang mendapat kesempatan untuk turut serta dan
bertanggungjawab terhadap daerah.
(b) Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi. Di dalam sistem ini,
daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
2) Negara Serikat (negara Federasi)
Adalah negara yang terjadi dari penggabungan beberapa negara yang semula
berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka, berdaulat, ke dalam suatu
ikatan kerjasama yang efektif untuk melaksankaan urusan secara bersama.
Setelah menggabungkan diri, masing-masing negara itu melepaskan sebagian
kekuasaan dan menyerahkan kepada Negara Federalnya. Kekuasaan yang
diserahkan disebutkan secara satu persatu (liminatif) dan hanya
kekuasaan yang disebut itulah yang diserahkan. Dengan demikian,
kekuasaan asli ada pada Negara Bagian. Dan biasanya yang diserahkan
adalah urusan luar negeri, pertahanan neagra dan keuangan. Perbedaan
antara Negara Kesatuan yang didesentralisir dengan Negara Serikat :
Negara Kesatuan yang didesentralisir Asal usulnya :
Ada negara kesatuan dahulu baru kemudian dibentuk daerah otonom. Negara
Serikat Ada negara bagian terlebih dahulu, baru membentuk negara
serikat. Kewenangan membuat UUD Hanya ada satu pembuat UUD yaitu
Pemerintah Pusat Ada 2 pembuat UUD yaitu Pemerintah Federal dan
Pemerintah Negara Bagian. Sehingga ada 2 UUD yang berlaku. Sumber
wewenang Pemerintah Pusat yang didistribusikan kepada daerah otonom
Pemerintah Negara Bagian yang dikontribusikan pada Pemerintah Federal.
Sedang bentuk kenegaraan yang kita kenai dewasa ini ialah :
(1) Negara Dominion
Bentuk ini khusus hanya terdapat dalam lingkungan ketatanegaraan
Kerajaan Inggris. Negara dominion semua adalah jajahan Inggris, tetapi
setelah merdeka tetap mengakui Raja Inggris sebagai rajanya.
Negaranegara dominion tergabung dalam suatu gabungan yang bernama “The
British Commonwealth of Nations”.
(2) Negara Uni
Adalah gabungan dari 2 atau beberapa negara yang mempunyai seorang
Kepala negara. Ada dua negara Uni, yaitu : Uni Riil, ialah apabila dua
atau beberapa negara berdasarkan suatu perjanjian, mengadakan satu alat
pemerintahan untuk menyelenggarakan kepentingan bersama; Uni Personil,
ialah apabila dua atau beberapa negara secara kebetulan mempunyai
seorang Kepala Negara yang sama.
(3) Negara Protektorat
Ialah suatu negara yang berada di bawah perlindungan negara lain.
Perlindungan ini umumnya adalah !urut campurnya negara pelindung dalam
urusan Luar negeri.
c) Unsur-unsur Negara
Untuk dapat dikatakan sebagai suatu negara, negara harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(1) hams ada wilayahnya
(2) hams ada rakyatnya
(3) harus ada pemerintahnya
(4) harus ada tujuannya
(5) mempunyai kedaulatan.
Setiap negara mesti mempunyai suatu wilayah tertentu. Wilayah ini
terdiri dari wilayah daratan, wilayah perairan (yang ditentukan dengan
perjanjian) dan wilayah udara (di atas darat dan lautan). Batas-batas
wilayah suatu negara ditentukan dalam perjanjian dengan negara lain.
Perjanjian itu disebut Perjanjian Antar negara (Internasional). Apabila
dilakukan antara dua negara disebut PerjanjianBilateral, dan apabila
dilakukan oleh banyak negara disebut Perjanjian Multilateral. Ad.2.
Harus ada rakyatnya Yang termasuk suatu negara adalah semua orang yang
ada di dalam wilayah negara. Dengan demikian rakyat suatu negara dapat
terdiri dari berbagai macam golongan. Namun demikian, setiap orang yang
ada dalam wilayah negara itu harus patuh kepada hukum dan Pemerintah
Negara tersebut. Sebagai suatu
organisasi, maka negara harus mempunyai badan yang berhak mengatur dan
berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan yang mengikat
warganya, yang disebut Pemerintah. Bahwasanya negara
itu mempunyai tujuan adalah merupakan hal yang jelas, bahkan tujuan
negara itu merupakan suatu hal yang sangat penting, karena segala
sesuatu dalam negara itu akan diarahkan untuk mencapai apa yang menjadi
tujuan tersebut. Atau dapat pula dikatakan bahwa negara itu merupakan
alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bersama dari
anggotaanggotanya. Adapun tujuan negara itu bermacam-macam di antaranya
adalah untuk :
(a) Perluasan kekuasaan semata
Negara yang mempunyai tujuan perluasan kekuasaan semata disebut Negara
Kekuasaan. Ajaran ini memberikan suatu anggapan bahwa kekuasaan itu
berarti kebenaran. Di dalam mencapai tujuan ini, maka negara dan rakyat
dipisahkan dengan tegas. Rakyat hanya merupakan alat dan menjadi korban
belaka. Tokohnya : Machiavelli dan Shang Yang.
(b) Perluasan kekuasaan untuk mencapai tujuan lain
Tujuan lain dari perluasan kekuasaan adalah untuk mengatur keamanan dan
ketertiban negara. Walaupun nanti dalarn prakteknya keadaan negara tidak
berbeda dengan Negara Kekuasaan. Dengan perluasan kekuasaan negara,
rnaka kebebasan dan kernerdekaan rakyat rnenjadi terbatas. Hal ini
karena semua lapangan kehidupan diawali, dijaga dan dicarnpuri oleh
alat-alat kekuasaan negara. Sehingga negara dengan tujuan ini disebut
juga Negara Kepolisian.
(c) Penyelenggaraan ketertiban hukurn
Di sini negara rnernpunyai tujuan ketertiban hukurn dengan berdasarkan
dan berpedornan pada hukurn. Dalarn hal ini pernerintah hanya rnenjaga
jangan sarnpai ketertiban itu terganggu, dan agar segala sesuatunya
berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu negara ini
disebut Negara Hukurn.
(d) Penyelenggaraan Ke~ejahteraan Urnurn
Walaupun kalau kita lihat, tujuan negara hukurn adalah juga untuk
kesejahteraan urnurn, tetapi negara yang bertujuan rnenyelenggarakan
kesejahteraan urn urn yang disebut Negara Kesejahteraan (Welfare State)
ini ternyata lebih tegas rnerurnuskan daripada negara hukurn. Dalam
negara kesejahteraan, negara hanyalah rnerupakan alat dari rnanusia
untuk rnencapai tujuan bersarna.
Tujuan Negara Republik Indonesia
Walaupun ada beberapa teori tujuan negara, narnun yang rnenjadi tujuan
dari Pernerintah Negara Republik Indonesia adalah sebagairnana
tercanturn dalarn Pernbukaan UUD 1945 aliena 4 : “Kernudian daripada itu
untuk rnernbentuk suatu pernerintahan negara Indonesia yang leindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh turnpah darah Indonesia, dan untuk
rnernajukan kesejahteraan urnurn, rnencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut rnelaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan … “.
(a) Melindungi segenap bangsa dan seluruh turnpah darah Indonesia,
berarti bahwa Negara Indonesia tidak rnengadakan pernbedaan terhadap
suku, agarna, ras dan golongan dalarn rnernbawa rakyatnya ke arah tujuan
yang dicita-citakan.
(b) Memajukan kesejahteraan umum Ini berarti bahwa negara Republik
Indonesia menghendaki agar semua warga dapat mengenyam kesejahteraan,
bukan hanya dinikmati oleh beberapa orang atau segolongan orang tertentu
saja.
(c) Mencerdaskan kehidupan bangsa Kemajuan dunia dewasa ini menyadarkan
usaha Pemerintah Indonesia untuk lebih mempergiat usaha dalam lapangan
pendidikan.
(d) Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sejak Indonesia mencapai
kemerdekaannya, maka tidak henti-hentinya Pemerintah dan bangsa
Indonesia membantu perjuangan bangsa-bangsa yang dijajah. Di samping itu
juga turut berusaha dengan aktif meredakan ketegangan dunia yang
mengancam ketertiban dan perdamaian.
Mempunyai kedaulatan kemerdekaan
Kedaulatan merupakan unsur penting dalam suatu negara, karena kedaulatan
ini yang akan membedakan organisasi negara dan organisasi/ perkumpulan
lainnya. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu negara
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa rakyatnya mentaati dan
melaksanakan peraturan-peraturannya (kedaulatan ke dalam). Oi samping
itu, negara juga harus mempertahankan kemerdekaannya yang telah dimiliki
serta mempertahankan kedaulatan ke luar (external sovereighnity). Untuk
itu negara menuntut kesetiaan yang mutlak dari warganya.
(a) Sifat-sifat Kedaulatan
(1) Permanen Artinya walau badan yang memegang kedaulatan itu berganti,
kedaulatan negara masih tetap ada. Kedaulatan hanya akan lenyap bersama
dengan lenyapnya negara.
(2) Absolut Artinya di dalam negara tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan negara.
(3) Tidak terbagi-bagi Walaupun kekuasaan pemerintah memang dapat
dibagi-bagi, tetapi kekuasaan tertinggi dari negara tetap tidak dapat
dibagi-bagi.
(4) Tidak terbatas Berarti kedaulatan suatu negara itu meliputi setiap
orang dan setiap golongan yang ada dalam suatu negara tanpa terkecuali.
(b) Sumber Kedaulatan
(I) Teori Kedaulatan Tuhan Menurut teori ini segala sesuatu yang ada di
dunia ini berasal dari Tuhan, maka terbentuknya negara pun atas kehendak
Tuhan. Oleh karena itu Pemerintah wajib menggunakan kedaulatan tersebut
sesuai dengan kehendak Tuhan.
(2) Teori Kedaulatan Rakyat Teori ini menyatakan bahwa negara terbentuk
karena sekelompok manusia yang semula hidup sendiri-sendiri dan
mengadakan perjanjian untuk membentuk suatu badan yang diserahi
kekuasaan menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat. Jadi bila
masyarakat tunduk kepada Pemerintah, sebenarnya masyarakat tunduk kepada
kemauannya sendiri/kemauan umum. Dengan kata lain, Pemerintah diberi
kekuasaan oleh rakyat yang berdaulat itu, dan Pemerintah melakukan itu
atas nama rakyat. Tokoh : Rousseau, John Locke, Montesquieu.
(3) Teori Kedaulatan Negara Teori ini mengatakan bahwa negara terjadi
karena kodrat alam, demikian pula kekuasaan yang ada. Karena itu
kedaulatan dianggap ada sejak adanya/lahirnya negara. Sehingga,
negaralah yang dianggap sumber kedaulatan. Hukum ada karena dikehendaki
negara, oleh karena itu negara tidak dapat dibatasi hukum karena hukum
adalah hasil buatan negara sendiri. Tokoh : Jellineck, Paul Laband.
(4) Teori Kedaulatan Hukum Teori ini merupakan kebalikan teori
kedaulatan negara. Teori ini menganggap bahwa kedudukan dan martabat
hukum lebih tinggi dari negara. Dengan demikian hukum1ah yang berdaulat.
Karena arti hukum tidak hanya terbatas pada peraturan-peraturan
tertulis saja, tetapi juga segala kebiasaan yang ditaati masyarakat.
Sampai sekarang tidak ada kesepakatan di antara para ahli sendiri
tentangapa arti sebenarnya daripada hukum. Hal ini dapat dimengerti,
bila disadari betapa luasnya 1ingkup hukum, yang meliputi semua bidang
kehidupan masyarakat. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mencoba
menghimpun berbagai pengertian yang dibenarkan oleh masyarakat terhadap
hukum, dengan hasil sebagai berikut :
1) Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2) Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3) Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau peri1akuan yang pantas atau diharapkan.
4) Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat
kaidahkaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu
serta berbentuk tertu1is.
5) Hukum sebagai petugas, yakni priibadi-priibadi yang merupakan
kalangan yang berhubugnan erat dengan penegakan hukum (law-enforcement
officer).
6) Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang
menyangkut ” … decision-making not strictly governd by legal rules, but
rather with significant element of personal judgement” (Wayne Laa Favre,
1964) 01eh karena itu yang dimaksudkan dengan diskreksi adalah
“authority conferred by law to act in certain conditions situations in
accordance on afficial’s or an agency’s own conside red judgement and
conscience. it is an ide of morals, belong in to the twilight zone
between law and morals (Rescoe Pounds, 1960).
7) Hukum sebagai proses pemerintah, yaitu proses sehubungan timbal balik
antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan. Artinya, hukum
dianggap sebagai “a command or prohibition emanating from the authorized
agency of the state… and backed up by the authority and the capacity to
exercise force which is characteristic of the state (Henry Pratt,
et.al., 1976). Dengan demikian yang dimaksudkan dengan hukum adalah” …..
the normative live of a state and its citizens, such as legislation,
litigation, and adjudication (Donald Black, 1976).
8) Hukum sebagai sikap tindak konsisten atau perikelakuan yang
teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sarna,
yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari
konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G.
Duncan Mitchell: 1977). Pentingnya mengadakan identifikasi terhadap
pelbagai arti hukum adalah untuk mencegah terjadinya kesimpangsiuran di
dalam melakukan studi terhadap hukum, maupun di dalam penerapannya. Lagi
pula arti hukum pada suatu kurun waktu tertentu tidak akan lepas; dari
pemikiran-pemikiran lain yang hidup pada zaman tersebut. Terutama
sekali, hukum mempunyai hubungan yang erat dengan negara, sehingga
setiap telaah terhadap negara akan ikut menentukan tentang apa yang
dimaksud dengan hukum. Sedangkan pandangan terhadap hukum dan negara
berkaitan erat dengan pemikiran tentang semua gejala yang ada, yaitu
suatu sistem filsafat tertentu. Pendapat para sarjana mengenai hubungan
antara negara dan hukum pada garis besarnya dapat disederhanakan dalam
tiga pendapat :
a) bahwa negara lebih tinggi daripada hukum, ini merupakan pandangan yang bersumber pada teori absolutisme negara.
b) negara, sebenarnya adalah identik atau sarna dengan hukum, ini adalah
pandangan yang menolak setiap dualisme antara negara dan hukum, dan
c) negara harns tunduk pada hukum, pendapat ini dikemukakan oleh
penganut teori kedaulatan hukum Salah seorang di antara berpendapat
bahwa negara mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum adalah
Puchta, murid seorang pemikir terkenal di bidang hukum yang bernama
Friedrick Von Savigny. Savigny berpendapat bahwa hukum tumbuh bersama
pertumbuhan bangsa (rakyat), menjadi kua~ bersama dengan kekuatan bangsa
dan akhirnya mati (punah) ketika suatu bangsa kehilangan kebangsaan. I
Puchta menerima pendapat gurnnya bahwa hukum bersumber dari jiwa bangsa
(volkgeist). Lebih jauh lagi Puchta berpendapat bahwa hukum timbul dari
jiwa bangsa secara langsung dalam pelaksanaannya (dalam adat-istiadat
orang-orang); secara tidak langsung hukum timbul dari jiwa bangsa
melalui undang-undang (yang dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu
pengetahuan hukum (yang dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu
pengetahuan hukum (yang mernpakan karya ahli-ahli hukum). Keyakinan
hukum yang hidup jiwa bangsa harns disahkan melalui kehendak umum
masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Bahkan adat-istiadat bangsa
maupun hasil pemikiran ahli-ahli hukum hanya berlaku sebagai hukum
sesudah disahkan oleh negara. Teori inilah yang sebenarnya berakar dari
teori absolutisme negara dan positivisme yuridis.2 Pandangan Puchta ini
senada dengan pendapat Theodor Geiger, yang menelaah hukum melalui
teori-teori sosiologi. Geiger berpendapat bahkan satu-satunya hukum yang
berlaku adalah hukum yang berasal dari negara. Hans Kelsen, yang
mencoba untuk menyusun suatu teori murni tentang hukum, menolak
pandangan dualisme terhadap negara dan hukum. Menurnt pendapatnya hukum
dan negara adalah identik, karena negara tidak lain daripada sistem
sikap tindak manusia dan ketaatan dari paksaan sosial. Ketaatan pemaksa
ini tidak beda dengan tata hukum, karena dalam masyarakat hanya ada
satu, dan bukan dua ketaatan pemaksa yang sah pada satu waktu. Jadi
negara tidak lebih tinggi daripada hukum, karena bila demikian berarti
pendewaan terhadap negara dan hukum tidak lebih tinggi dari negara,
seperti pendapat penganut aliran hukum alam yang ditentang oleh Kelsen.
Di atas sudah diuraikan bahwa Krabbe berpendapat, rakyat mentaati
peraturan negara bukan karena paksaan (oleh kekuasaan) negara, tetapi
karena mereka memiliki kesadaran hukum. Kesadaran hukum rakyatlah yang
merupakan sumber kekuasaan negara. Dengan demikian negara bukanlah
pemegang kedaulatan tertinggi karena negara pun harns juga tunduk kepada
hukum. Jadi dalam menjalankan kebijaksanaan, negara terikat pada
normanorma keadilan. Teori kedaulatan hukum inilah yang menjiwai prinsip
negara hukum. Negara hukum dalam arti sempit, yakni negara hukum
liberal, ditandai dengan dua ciri :
1) Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2) Pemisahan kekuasaan, antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Negara hukum dalam arti formal, lebih luas daripada negara. Hukum liberal, mengandung empat unsur sebagai berikut :
I) Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2) Pemisahan kekuasaan;
3) Setiap tindakan pemerintahan harns didasarkan pada undang-undang;
4) Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri, untuk aparat pemerintah yang melanggar batas-batas kewenangannya.
A.V. Dicey juga mengembangkan teori kedaulatan hukum di Inggris yang
sedikit berbeda dengan prinsip negara hukum yang berkembang di Eropa
Kontinental. Menurut sistem Anglo Saxon, dikenal the rule of law yang
memiliki tiga unsur :
I) Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara hukum (kedahulatan hukum);
2) Persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap orang;
3) Konstitusi bukan merupakan (satu-satunya) sumber bagi hak-hak asasi
manusia. Jika hak-hak asasi manusia dirumuskan dalam konstitusi, hal ini
hanya sebagai penegasan bahkan hak asasi tersebut harus dilindungi.
C. PEMERINTAH
Pemerintah merupakan salah satu unsur penting daripada negara. Tanpa
Pemerintah, maka negara tidak ada yang mengatur. Karena Pemerintah
merupakan roda negara, maka tidak akan mungkin ada suatu negara tanpa
Pemerintah. Dalam pengertian umum sering dicampuradukkan pengertian
Pemerintah dan pemerintahan, seakan-akan keduanya adalah sama. Padahal
jelas keduanya berbeda. Untuk membedakan kedua istilah tersebut, maka
istilah tersebut harus kita bedakan dalam arti luas dan dalam arti
sempit. Pemerintahan dalam arti luas : Segala kegiatan atau usaha yang
terorganisir, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan dasar negara,
mengenai rakyat/penduduk dan wilayah (negara itu) demi tercapainya
tujuan negara. Segala tugas, kewenangan, kewajiban negara yang harus
dilaksanakan menurut dasar-dasar tertentu (suatu negara) demi
tercapainya tujuan negara. Kalau kita mengikuti pemisahan kekuasaan
Montesquieu, maka meliputi bidang legislatif, eksekutif, yudikatif.
Kalau kita mengikuti Vollenhoven maka meliputi bidang wetgeving,
rechtspraak, politie, bestuur. Pemerintahan dalam arti sempit Kalau kita
mengikuti Montesquieu, maka hanyalah tugas, kewajiban dan kekuasaan
negara di bidang eksekutif. Kalau kita mengikuti Vollenhoven, kekuasaan
negara di bidang bestuur. Mengikuti pengertian pemerintahan dalam arti
luas dan sempit tersebut, maka: Pemerintah dalam arti luas : Adalah
menunjuk kepada alat perlengkapan negara seluruhnya (aparatur negara)
sebagai badan yang melaksanakan seluruh tugas/kekuasaan negara atau
melaksanakan pemerintahan dalam arti luas. Pemerintah dalam arti sempit :
Adalah hanya menunjuk kepada alat perlengkapan negara yang melaksanakan
pemerintahan dalam arti sempit. Di dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan
dengan tegas, bahwa Presiden adalah penye1enggara pemerintahan yang
tertingi di bawah Majelis (MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi). Hal
ini berarti bahwa Presiden bertanggung jawab dan berkuasa menjalankan
pemerintahan negara. Untuk itu Presiden menunjuk para Menteri sebagai
pembantunya. Para menteri ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap
Presiden dalam menentukan politik negara mengenai departemennya.
Presiden dan para Menteri inilah Pemerintah alam arti sempit. Walaupun
demikian, teori Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan ini tidak
sepenuhnya dianut di Indonesia. Karena teori ini mengajarkan bahwa
masing-masing bidang kekuasaan ini berdiri sendiri-sendiri dan tidak
mencampuri urusan bidang lainnya. Sedangkan menurut UUD 1945, Indonesia
menganut sistem pembagian kekuasaan (bukan pemisahan), sehingga dapat
terjadi satu bidang tugas dilakukan oleh lebih dari satu alat
perlengkapan negara. Atau sebaliknya, satu alat perlengkapan negara
melaksanakan lebih dari satu bidang tugas.
D. WARGANEGARA DAN NEGARA
Unsur penting suatu negara yang lain adalah rakyat. Tanpa rakyat, maka
negara itu hanya ada dalam angan-angan. Termasuk rakyat suatu negara
adalah meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah
kekuasaan negara tersebut dan tunduk pada kekuasaan negara tersebut.
Dalam hubungan ini rakyat diartikan sebagai kumpulan manusia yang
dipersatukan oleh suatu rasa persatuan dan yang bersama-sama mendiami
suatu wilayah tertentu.Menurut Kansil, orang-orang yang berada dalam
wilayah suatu negaraitu dapat dibedakan menjadi :
a. Penduduk ialah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan oleh peraturan negara yang bersangkutan, diperkenankan
mempunyai tempat tinggal pokok (domisili) dalam wilayah negara itu.
Penduduk ini dapat dibedakan menjadi 2 lagi, yaitu :
1) Penduduk Warga Negara atau Warga negara adalah penduduk yang
sepenuhnya dapat diatur oleh Pemerintah negara tersebut dan mengakui
Pemerintahnya sendiri;
2) Penduduk bukan Warga negara atau Orang Asing adalah penduduk yang bukan warga negara.
b. Bukan Penduduk ialah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara
untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di
wilayah negara tersebut.
1) Asas Kewarganegaraan
Adapun untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi warganegara, digunakan 2 kriteria, yaitu :
(1) Kriterium kelahiran. Berdasarkan kriterium ini, masih dibedakan lagi menjadi 2, yaitu :
(a) Kriterium kelahiran menurut asas keibubapaan atau disebut pula “Ius
Sanguinis”. Di dalam asas ini, seorang memperoleh kewarganegaraan suatu
negara berdasarkan asas kewarganegaraan orang tuanya, di manapun ia
dilahirkan.
(b) Kriterium kelahiran menurut asas tempat kelahiran atau “Ius Soli”.
Di dalam as as ini, seseorang memperoleh kewarganegaraannya berdasarkan
negara tempat di mana dia dilahirkan, meskipun orang tuanya bukan warga
negara dari negara tersebut. Kedua prinsip kewarganegaraan ini digunakan
secara bersama dengan mengutamakan salah satu, tetapi tanpa meniadakan
yang satu. Konflik antara Ius Soli dan Ius Sanguinis akan menyebabkan
terjadinya kewarganegaraan rangkap (bipatride) atau tidak mempunyai
kewarganegaraan sarna sekali (a-patride). Berhubung denganitu, maka
untuk menentukan kewarganegaraan seseorang digunakan 2 stelsel
kewarganegaraan (di samping kedua asas di atas) yaitu stelsel aktif dan
stelsel pasif.Pelaksanaan kedua stelsel ini kita bedakan dalam hak opsi,
yaitu hak untuk memilih kewarganegaraan (pelaksanaan stelsel aktif);
hak repudiasi, ialah hak untuk menolak kewarganegaraan (pelaksanaan
stelsel pasif).
(2) Naturalisasi atau pewarganegaraan, adalah suatu proses hukum yang
menyebabkan seseorang dengan syarat-syarat tertentu mempunyai
kewarganegaraan negara lain. Di Indonesia, siapa-siapa yang menjadi
warganegara telah disebutkan di dalam pasal 26 UUD 1945, yaitu :
(1) Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara.
(2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan
undanngundanng. Pelaksanaan selanjutnya dari pasal 26 UUD 1945 ini
diatur dalam UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, yang pasal I-nya menyebutkan : Warga negara Republik
Indonesia ialah :
a. Orang-orang yang berdasarkan p~rundang-undangan danlatau
perjanjian-perjanjian danlatau peraturan-peraturan yang berlaku sejak
proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warga negara Republik Indonesia.
b. Orang yang pada waktu lahimya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan
dengan ayahnya, sdorang warga negara RI, dengan pengertian bahwa
kewarganegaraan karena RI tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum
kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau
sebelum ia kawin padausia di bawah umur 18 tahun.
c. Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya menillggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warga negara RI.
d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara RI, apabila ia pada
waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya.
e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara RI, jika ayahnya
tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama tidak diketahui
kewarganegaraan ayahnya.
f. Orang yang lahir di dalam wilayah RI selama kedua orang tuanya tidak diketahui.
g. Seseorang yang diketemukan di dalam wilayah RI selama tidak diketahui kedua orang tuanya.
h. Orang yang lahir di dalam wilayah RI, jika kedua orang tuanya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya
tidak diketahui.
i. Orang yang lahir di dalam wilayah RI yang pada waktu lahirnya tidak
mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat
kewarganegaraan ayah atau ibunya itu.
j. Orang yang mempunyai kewarganegaraan RI menurut aturan undang-undang
ini. Selanjutnya di dalam Penjelasan Umum UU No.62 tahun 1958 Ill)
dikatakan bahwa kewarganegaraan RI diperoleh
a. karena kelahiran
b. karena pengangkatan
c. karena dikabulkan permohonan
d. karena pewarganegaraan
e. karena atau sebagai akibat dari perkawinan
f. karena turut ayah/ibunya
g. karena pernyataan.
Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 62 tahun 1958 disebutkan : b,c,d dan e. :
Sudah selayaknya keturunan warga negara RI adalah WNI. Sebagaimana telah
diterangkan di atas dalam Bab I huruf a yang menentukan status anak
ialah ayahnya. Apabila tidak ada hubunganhukum kekeluargaan dengan
ayahnya atau apabila ayah tidak mempunyai kewarganegaraan ataupun selama
tidak diketahui kewarganegaraannya, maka barulah ibunya yang menentukan
status anak itu. Hubungan hukum kekeluargaan antara ibu dan anak selalu
ada ; kalau ayahnya mengadakan hukum secara yuridis. Anak baru turut
kewarganegaraan ayahnya, setelah ayah itu mengadakan hubungan hukum
kekeluargaan dan apabila hubungan hukum itu diadakan setelah anak itu
menjadi dewasa, maka ia tidak turut kewarganegaraan ayahnya. f,g dan h.
Menjalankan ius soli supaya orang-orang yang lahir di Indonesia tidak
ada yang tanpa kewarganegaraan.
2) Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia
Apabila kita melihat pasal-pasal dalam UUD 1945, maka akan dapat kita
temukan beberapa ketentuan tentang hak-hak warga negara, misalnya,
pendidikan, pertahanan dan kesejahteraan sosial. Pasal 27 (2) Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pasa! 30 (1) Tiap-tiap warga negara berhak … ikut serta
dalam usaha pembelaan negara. Pasa! 3! (1) Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran. Selain pasal-pasal yang menyebutkan hak warga
negara maka terdapat pula beberapa pasal yang menyebutkan tentang
kemerdekaan warga negara : Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan ‘” (hak memilih dan
dipilih). Pasal 29 (2) Pasal 28 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu (hak untuk beragama dan
beribadat menurut kepercayaan masing-masing, selama agama dan
kepercayaan itu diakui Pemerintah). Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang. (hak bersama dan mengeluarkan
pendapat). Di samping itu dua ketentuan dengan tegas menyebutkan tentang
kewajiban warga negara : Pasal 27 (1) Segala warga negara wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal
30 (1) Tiap-tiap warga negara wajib ikut serta dalam usaha pembelaan
negara. Pembedaan penduduk suatu negara menjadi warga negara dan orang
asing tersebut, pada hakikatnya adalah untuk membedakan “hak dan
kewajiban”nya saja. Orang asing di Indonesia tidak mempunyai hak dan
kewajiban sebagaimana warga negara Indonesia. Mereka tidak mempunyai hak
untuk memilih dan dipilih, hak dan kewajibanmempertahankan dan membela
negara, namun mereka mempunyai kewajiban untuk tunduk dan patuh pada
peraturan, dan berhak mendapatkan perlindungan atas diri dan harta
bendanya. Walaupun hak dan kewajiban warga negara di dalam UUD 1945
hanya dimmuskan dalam beberapa pasal saja, namun semuanya telah disebut
di atas hal-hal yang pokok. Ini sesuai dengan sifat UUD 1945 yang hanya
mengatur hal-hal yang pokok saja. Karena UUD 1945 hanya mengatur hal-hal
yang pokok, maka untuk pelaksanaan selanjutnya hams ada undang-undang
yang akan menentukan lebih jauh, bagaimana hak-hak dan kewajiban
tersebut di atas hams dilaksanakan. Tanpa adanya undang-undang semacam
ini, maka ketentuanketentuan yang ada pada pembukaan, batang tubuh
maupun penjelasan UUD 1945 akan kehilangan artinya dan hanya tinggal
merupakan rangkaian hurufhuruf mati saja. Sebagai contoh pasal 28
mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat dengan tulisan dan lisan. Ketiga hak ini adalah suatu negara
demokrasi. Kebebasan berserikat tidak akan ada artinya bila tidak ada
hak untuk mengeluarkan pendapat. Dalam UUD sendiri telah disebutkan
bahwa hal tersebut harns diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Sebagai pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat, pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menyusun Undang-undang
Nomor 3 tahun 1975. Sedangkan kebebasan-kebebasan lain yang juga diatur
pada pasal 23 sampai sekarang belum diatur lebih jauh, sehingga sering
menimbulkan berbagai penafsiran. Kebebasan berserikat tersebut terutama
adalah kebebasan untuk mendirikan partai politik. Pengakuan terhadap
partai ters.ebut oleh pemerintah tidak boleh sarna sekali dikaitkan
dengan program partai tersebut apakah mendukung program pemerintah atau
tidak. Jadi suatu partai politik bebas untuk menentukan sikapnya, apakah
akan menjadi pendukung setia atau akan beroposisi terhadap Pemerintah.
Kebebasan ini berarti pula bahwa pemerintah sarna sekali tidak memilkiki
hak untuk melarang berdirinya suatu partai politik baru, karena
larangan semacam ini jelas bertentangan dengan asas kebebasan berserikat
yang dijamin oleh pasal 28 tersebut. Jadi sesuai dengan
tingkatan/hierarki perundangundangan, suatu undang-undang isinya tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang Dasar yang kedudukannya lebih
tinggi, dan menjadi sumberbagi undang-undang tersebut. Tentu saja ada
pembatasan bahwa partai yang didirikan harus tidak bertentangan dengan
nilai demokrasi yang justru terkandung dalam pasal 28 UUD 1945. Pasal 27
ayat 1 menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum. Ini berarti bahwa tidak ada warga negara yang memiliki hak
lebih banyak atau lebih sedikit daripada warga negara berhak atas
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Karena itu pemerintah
berkewajiban untuk menyediakan lapangan kerja baru dengan syarat-syarat
yang sesuai dengan kemanusiaan. Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing, dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
“Penduduk” yang dimaksud di sini adalah siapa saja yang berdomisili di
wilayah Indonesia, baik ia warga negara ataupun orang asing. Tentu saja
pasal ini harus dihubungkan dengan ayat satunya, sehingga kebebasan
tersebut adalah dalam hubungannya dengan agama yang mempercayai keesaan
Tuhan. Begitu pula pasal 31, 32, 33 dan 34 menjamin hak-hak terhadap
pengajaran, perlindungan kultural, ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Jadi meskipun ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 tidak terlalu
banyak, tetapi karena hal-hal tersebut meliputi pokok-pokok saja yang
kemudian pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan undang-undang, maka
pengaturan tersebut sudah cukup memadai. Tetapi yang lebih penting lagi
adalah apa yang dinyatakan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa : “Yang
penting adalah semangat para penyelenggara negara semangat parapemimpin
pemerintahan meskipun UUD itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau
semangat para penyelenggara pemerintah baik, UUD itu tentu akan
merintangi jalannya negara.” Sebaliknya, meskipun dalam UUD dicantumkan
perumusan hak-hak dan kewajiban warga negara yang sebanyak-banyaknya,
hal tersebut akan menjadi sia-sia bila penyelenggara negaranya, para
pemimpin pemerintahannya memang tidak baik, dalam arti memang tidak
mempunyai itikad untuk memberi kesempatan kepada warga negara untuk
menikmati hakhaknya maupun melaksanakan kewajibannya, meskipun
hak-haknya maupun melaksanakan kewajibannya, meskipun hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tersebut jelas sudah disebutkan dengan cukup memadai
dalam UUD 1945.