Dasar Hukum yang Disepakati
Sumber
hukum islam ada dua: al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam
kurang lebih ada sebelas: Dasar hukum yang disepakati ulama ada empat:
al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dasar hukum yang tidak disepakati oleh
ulama ada tujuh: Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf (adat istiadat),
Istishab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shohabi, Sadd az-Zariah.
Untuk memudahkan, lihat skema di bawah ini:
1. Al-Quran
Menurut
bahasa al-Quran berarti “bacaan”, dan menurut ilmu Ushul Fiqih al-Quran
adalah: “Firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan bahasa arab dan
terkategorikan beribadah jika membacanya”.
Al-Quran
pertama kali diturunkan di Gua Hira (Makkah) pada tahun 611 M, dan
berakhir di Madinah pada tahun 633 H (al-Quran turun selama kurun waktu
22 tahun beberapa bulan). Surat yang pertama kali turun adalah al-‘Alaq
dan yang terakhir kali –terdapat perbedaan pendapat- menurut sebagian
ulama adalah ayat 281 surat al-Baqarah.
Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran mencakup tiga ajaran pokok:
1. Ajaran yang berkenaan dengan akidah (al-Ahkam al-I’tiqodiyyah), seperti Tawhid, malikat, hari akhir dll.
2.
Ajaran yang berkenaan dengan akhlaq (al-Ahkam al-Khuluqiyyah), seperti
tuntunan bergaul secara sopan, tutur kata yang baik dll.
3.
Ajaran yang berkenaan dengan perbuatan (al-Ahkam al-‘Amaliyyah),
seperti tuntunan kewajiban dan larangan berbuat sesuatu. Dari ajaran
inilah kemudian timbul ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.
Hukum Amaliah (fiqih) terdiri dari 2 cabang,
1. Hukum Ibadah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya, seperti sholat, puasa, haji dll.
2. Hukum Muamalah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan hamba, seperti jual beli, menikah, dll.
Abdul Wahab Kholaf memerinci macam ayat al-Quran yang berhubungan dengan hukum muamalah sebagai berikut:
1. Hukum Keluarga: seperti prosesi akad nikah, talak, ruju’, iddah warisan dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
2. Hukum Perdata: seperti utang piutang, perjanjian sewa menyewa jual beli dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
3.
Hukum Pidana: seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian, perampokan
tindak kekerasan dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 30 ayat.
4. Hukum Acara: seperti peradilan, kesaksian, sumpah, barang bukti dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 13 ayat.
5.
Hukum Ketata-Negaraan: ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan,
seperti mengatur hak pribadi dan hak masyarakat dll, terdapat di dalam
al-Quran –sekitar- 10 ayat.
6.
Hukum Antar Bangsa: seperti hukum yang mengatur hubungan antara Negara
Islam dan Negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan non muslim dll,
terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 25 ayat.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan: seperti hak-hak faqir miskin, pembagian zakat dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.
Menurut Imam Ghozali, ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum amaliyah (fiqih) kurang lebih 500 ayat.
2. Al-Sunnah
Sunnah
secara bahasa berarti “perilaku seseorang baik perilaku yang baik
ataupun yang buruk”. Adapun menurut istilah, al-Sunah adalah: “segala
perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan
(qawliyyah), perbuatan (fi’liyyah) ataupun pengakuan (taqririyah)”.
Contoh:
1. Sunnah yang berupa ucapan (qawliyyah) Nabi Saw:
عَنْ
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (رواه ابن ماجه)
“Dari
Ubadah bin Samit sesungguhnya Rasulullah Saw memutuskan bahwa tidak
boleh melakukan kemudaratan (kerusakan / bahaya) dan tidak boleh pula
mendatangkan kemudaratan” (HR. Ibn Majah)
2. Sunnah yang berupa perbuatan (fi’liyyah) dari Nabi Saw:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم قَال أُصَلِّي كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يُصَلُّونَ لَا أَنْهَى
أَحَدًا يُصَلِّي بِلَيْلٍ وَلَا نَهَارٍ مَا شَاءَ غَيْرَ أَنْ لَا
تَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا (رواه البخارى
“Dari
Ibn Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: saya sholat
seperti sahabat-sahabatku melaksanakan sholat, aku tidak melarang
seseorang di antara mereka melakukan sholat baik siang maupun malam
sesuai yang dikehendakinya kecuali mereka sengaja sholat pada saat
terbit dan tenggelamnya matahari” (HR. Bukhari)
3. Sunnah yang berupa pengakuan (taqririyah) seperti:
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلَيْنِ تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا
مَاءً فِي الْوَقْتِ فَتَوَضَّأَ أَحَدُهُمَا وَعَادَ لِصَلَاتِهِ مَا
كَانَ فِي الْوَقْتِ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ فَسَأَلَا النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ
السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلْآخَرِ أَمَّا أَنْتَ
فَلَكَ مِثْلُ سَهْمِ جَمْعٍ (رواه النسائ
“Dari
Abu Sa’id, sesungguhnya ada dua orang laki-laki yang bertayamum dan
keduanya melaksanakan sholat, kemudian keduanya mendapatkan air pada
saat -waktu sholat yang mereka kerjakan- belum habis maka salah seorang
dari keduanya berwudlu dan mengulangi sholatnya karena waktu belum
habis, sedangkan seseorang yang lain tidak melakukannya, maka keduanya
brtanya kepada Nabi Saw dan beliau bersabda kepada orang yang tidak
mengulang sholatnya: engkau telah melakukan sunnah dan telah cukup
sholatmu itu. Dan kepada yang mengulangi sholatnya beliau bersabda:
bagimu pahala dua kali lipat ganda” (HR. Nasai).
Dalam kajian Ushul Fiqih, Hadis dari segi sanadnya terbagi menjadi 2 macam: Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
1.
Hadis Mutawatir; Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi
(minimal 4 sahabat) yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh
dari kemungkinan berbuat bohong. Hadis mutawatir terbagi menjadi dua:
-
Mutawatir Lafdzi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang
makna dan lafadznya sama. Misalnya Hadis tentang seseorang yang berbuat
dusta atas diri nabi maka hendaknya ia mengambil tempat dineraka
(HR.Muslim)
-
Mutawatir Ma’nawi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang
maknanya sama namun lafadznya berbeda. Misalnya Hadis tentang nabi
mengangkat tangan pada saat berdoa (HR. Tirmidzi)
2.
Hadis Ahad; Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih (maximal 3
sahabat) dan tidak sampai ke batas Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi
menjadi tiga:
-
Hadis Masyhur: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 orang
perawi. Contoh Hadis tentang amal tergantung kepada niat (HR. Bukhori
Muslim)
-
Hadis ‘Aziz: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 2 orang
perawi. Contoh menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang islam (HR.
al-Baihaqi)
-
Hadis Ghorib: Hadis yang diriwayatkan oleh orang 1 orang perawi. Contoh
belum sempurna iman seseorang sehingga ia lebih mencintai rasulullah
melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia (HR.
Bukhori Muslim)
Fungsi Sunnah terhadap al-Quran adalah:
1. Menjelaskan isi al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan tata cara sholat dll
2.
Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis, yang mana pokok-pokoknya
telah disebutkan dalam al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan suami istri
yang li’an (sumpah empat kali dan yang kelima sumpah laknat Allah jika
ia berdusta), maka keduanya telah bercerai selama-lamanya (HR.Ahmad dan
Abu Daud)
3.
Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Quran; keharaman
binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar
yang tajam (HR. An-Nasai)
3. Ijma’ (Konsensus Ulama)
A. Pengertian Ijma’
Kata
ijma’ secara bahasa berarti kesepakatan tentang suatu masalah. Adapun
ijma’ menurut istilah Ushul Fiqih adalah: “Kesepakatan para mujtahid
tentang hukum syara’ (hukum Islam) pada suatu masalah dalam satu masa
setelah Rasulullah Saw wafat”.
Kata
ijma’ juga dapat diartikan sebagai konsensus mujtahid dalam menetapkan
hukum pada suatu masalah. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat
terjadinya diketahui oleh semua mujtahid, kemudian mereka sepakat
memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka ini
disebut ijma’.
Contoh;
kesepakatan para sahabat yang melarang seorang laki-laki madu
(poligami) dengan bibi istri dari jalur ayahnya ataupun ibunya. Begitu
pula mereka sepakat bahwa saudara seayah dapat menempati posisi saudara
sekandung jika saudara sekandung tidak ada. Keputusan hukum ini tidak
ditemukan dalam al-Quran dan Hadis.
B. Dalil keabsahan ijma’
1. Berdasarkan al-Quran, antara lain dalam surat an-Nisa’ ayat 115:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan
ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali”.
Argumentasi:
dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan
orang-orang mukmin, antara lain mengikuti kesepakatan mereka. Jika tidak
maka ia akan diancam dengan neraka jahannam.
2. Berdasarkan Hadis Nabi, antara lain:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ
الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
“Dari
Ibnu Umar, Rasulullah Saw Bersabda: sesungguhnya Allah tidak akan
mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad, atas kesesatan
………..”. (HR. Tirmidzi).
Argumentasi:
Rasulullah menjamin bahwa Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad
untuk bersepakat dalam hal kesesatan. Hal ini mengindikasikan bahwa apa
yang telah mereka sepakati hendaknya dipatuhi. Sebab tidak mungkin
mereka bersepakat dalam kesesatan.
C. Rukun Ijma’
Rukun Ijma’ ada 4 (empat):
1. Adanya beberapa pendapat yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat dalam masa tertentu
2.
Adanya kesepakatan semua mujtahid terhadap keputusan hukum pada suatu
masalah tanpa memandang kebangsaan, tempat ataupun kelompok mereka
3. Kesepakan itu nyata, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan
4. Kesepakatan tersebut direalisasikan oleh semua ahli fiqih
D. Macam-macam Ijma’
* Ditinjau dari cara penetapannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1.
Ijma’ Shorih; Para mujtahid sepakat atas suatu hukum terhadap suatu
masalah dengan terlebih dahulu menyampaikan pendapatnya masing-masing,
yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat.
2.
Ijma’ sukuti; Sebagian mujtahid mengemukakan pendapat dan keputusan
hukum dalam suatu masalah, dan sebagian lain diam tidak mengemukakan
pendapatnya. Maka diamnya ini dapat diartikan sebagai tanda setuju.
* Ditinjau dari segi kekuatannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1.
Ijma’ Qath’i; ijma’ yang betul-betul terjadi dan tidak ada kemungkinan
lain yang menyangkalnya. Ijma’ ini terjadi di dalam ijma shorih.
2. Ijma’ Dzonni: Ijma’ yang masih ada kemungkinan penyangkalan atasnya.
E. Kedudukan Ijma’
Para
ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran
dan Hadis Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash
al-Quran dan Hadis yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang
dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan hukum.
Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”, apakah dapat dijadikan sebagai hujjah atau tidak?.
• Imam Syafi’i dan mayoritas ulama: tidak dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar hukum.
Argumentasi pendapat ini antara lain:
- Orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang telah mengemukakan pendapat.
-
Diam tidak dapat dipandang sebagai tanda setuju. Sebab dalam diamnya
terdapat banyak kemungkinan. Mungkin ia belum berijtihad, mungkin ia
khawatir dengan pendapatnya dan kemungkinan-kemungkinan yang lain
• Madzhab Hanafiah: dapat dijadikan sebagai hujjah.
Argumentasi pendapat ini antara lain sbb:
-
Memang pada dasarnya diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Namun
jika diamnya tersebut setelah merenung, berfikir dan menganalisa maka
diamnya tersebut adalah sikapnya, yakni diam yang berarti setuju
-
Pada umunya tidak semua mujtahid memberi fatwa. Sebab biasanya sang
pemberi fatwa hanya satu orang dan yang lain menyetujuinya.
-
Jika seorang mujtahid diam terhadap pendapat mujtahid lain, sementara
pendapat itu bertentangan dengan pendapatnya yang dianggap benar, maka
haram ia berdiam diri tanpa ada penyangkalan.
• Sebagian ulama lain: dapat dijadikan sebagai hujjah namun tidak masuk dalam kategori ijma’.
Argumentasi:
-
Ijma’ sukuti tidak terkategorikan ijma’ lantaran tidak memenuhi
Kriteria ijma’. Meskipun demikian tidak setiap orang alim mau
mengemukakan pendapatnya oleh karena beberapa hal.
-
Ijma’ sukuti ini dapat dijadikan sebagai hujjah oleh karena diamnya
seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju dibandingkan dengan
tidak setuju
F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Terdapat
beberapa pendapat menganehai kemungkinan terjadinya Ijma’ pada masa
pasca periode sahabat sampai sekarang. Sebagian ulama mengatakan tidak
mungkin terjadi lagi, melihat para ulama sudah tinggal berjauhan dan
sangat sulit untuk mengumpulkan mereka dalam satu tempat dan waktu,
selain juga mengingat begitu banyanya jumlah mereka.
Namun
demikan juga ada pendapat yang mengatakan bahwa ijma’ sangat mungkin
terjadi, dengan syarat aktivitas ini ditangani langsung oleh Negara.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer seperti Abdul
wahab kholaf, Qordlowi dll.
4. Qiyas (Analogi)
A. Pengertian Qiyas
Qiyas (analogi) merupakan dasar hukum islam yang disepakati, ia menduduki peringkat ke 4 setelah al-Quran, Hadis dan Ijma’.
Secara
bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
diketahui persamaan antara keduanya”. Sedangkan Qiyas menurut istilah
adalah: “Menyamakan sesuatu yang tidak ada hukumnya dengan sesuatu yang
telah ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat (penyebab)
antara keduanya”.
Qiyas
dilakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari
rumusan hukum pada suatu masalah yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan
Hadis, dan setelah itu dicari ‘illat / penyebabnya, yang kemudian
dibandingkan dengan masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya. Bila
ada kesamaan “illat / sebab” maka hukumnya sama. Ulama pertama kali
yang merumuskan Qiyas adalah Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i w. 820 M).
B. Rukun Qiyas
Qiyas dianggap sah dan benar apabila telah memenuhi rukun-rukunnya. Seluruh ulama sepakat bahwa rukun Qiyas ada 4:
1. Al-Ashlu (pokok masalah yang ada dalam Nash dan sebagai tempat menganalogikan sesuatu), misal: khamr.
2. Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal), misal: Haram
3. Al-Far’u (cabang masalah yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash), misal: ganja.
4. Illat (faktor penyebab). Misal: memabukkan.
Misal: Firman Allah dalam Surat al-Maidah 90:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”
Firman Allah dalam Surat al-Nahl 67
وَمِنْ
ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا
وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan
dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan
rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan”
Keterangan:
1.
Al-Ashlu (Asal masalah) dari ayat diatas adalah khamr. Khamr adalah
minuman keras yang dibuat dari perasan kurma atau buah-buahan.
2.
Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal) dari ayat di atas adalah
“Jauhilah”, yang berarti perintah wajib untuk menjauhi dan Haram
dikerjakan.
3. al-‘Illat (faktor penyebab / motivasi) keharamannya adalah Memabukkan.
4.
Al-Far’u (cabang masalah yang dianalogikan) misalnya; kokoin. Karena
kokoin memabukkan maka hukum kokoin sama dengan hukum khomr.
Proses Qiyas (Analogi) Dengan Sebab “Memabukkan”
Syarat Al-Ashlu (asal):
1. Hukum asal tidak boleh termansukh (terhapus)
2. Hukum asal harus berupa hukum syara’ (terdapat dalam nash, dan tidak boleh berupa hukum akal.
3. Hukum asal bukan merupakan hukum perkecualian. Misal, sah puasanya orang yang lupa makan.
Syarat Hukmul Ashli (hukum asal)
1. Hukum asal harus berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf
2. Hukum asal dapat ditelusuri ‘illatnya (faktor penyebab / motivasinya).
3. Hukum asal bukan merupakan hukum perkecualian, seperti diperbolehkan nikah lebih dari 4 orang bagi Nabi.
Syarat al-Far’u (cabang masalah)
1. Cabang tidak mempunyai ketentuan hukum sendiri di dalam nash
2. Illat pada cabang harus sama dengan Illat yang terdapat dalam asal
3. hukum cabang harus sama dengan hukum asal
Syarat ‘Illat (faktor penyebab/motivasi hukum)
Penentuan
‘Illat (faktor penyebab) membutuhkan kejelian, sehingga keputusan yang
dihasilkan tidak mengakibatkan kesalahan. Suatu misal, dalam menentukan
penyebab minuman keras adalah barang cair, maka kesimpulannya semua
barang cair adalah tidaklah boleh dikonsumsi. Secara rasional jika semua
benda cair tidak boleh dikonsumsi, maka hal itu terjadi kesalahan dalam
penentuan penyebabnya. Karena benda cair tidak hanya minuman keras.
Untuk
sahnya suatu illat sebagai landasan qiyas (analogi), para ulama telah
memberikan beberapa persyaratan. Syarat Illat, antara lain:
1.
Illat harus sesuai dengan tujuan pembentukan suatu hukum. Kuat dugaan
bahwa hukum tersebut ditetapkan oleh karena alasan adanya illat tersebut
bukan karena faktor lain. Contoh: sifat memabukkan, adalah relevan
sebagai illat diharamkannya khamer. Sebab dengan mengharamkannya berarti
menolak kemadlorotan dari kehidupan manusia. Berbeda dengan sifat cair,
adalah tidak relevan. Sebab tidak semua benda cair mendatangkan
madlorot, bahkan banyak benda cair yang memberi manfaat, seperti air.
2.
Illat harus bersifat jelas, tidak boleh samara atau sembunyi-sembunyi,
karena tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Contoh: Ijab dan qabul
adalah relevan sebagai illat sahnya jual beli. Sebab ijab qabul dapat
diketahui dan tanda bahwa seseorang tersebut ridha. Berbeda dengan sifat
ridha, adalah tidak relevan dijadikan sebagai illat sahnya jual beli.
Sebab ridha adalah tersembunyi dan samara.
3.
Illat harus berupa sesuatu yang bias dipastikan bentuk, jarak dan
timbangannya. Contoh: tindakan pembunuhan adalah sifat yang dapat
dipastikan menghilangkan nyawa seseorang. Oleh sebab itu tindakan
pembunuhan dapat dijadikan sebagai illat bagi terhalangnya mendapat
harta warisan.
Cara Mengetahui ‘Illat
Menurut penelitian ulama, ada beberapa cara yang dapat ditempuh guna mengetahui ‘illat, antara lain:
1. Melalui dalil-dalil al-Quran dan Hadis, baik secara tegas ataupun tidak tegas.
Contoh
‘illat yang tegas terdapat dalam Ayat 7 Surat al-Hasyr: yang artinya: “
Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah
dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.
Ayat
tersebut secara tegas menyebutkan bahwa illat (alasan) mengapa harta
rampasan itu harus dibagikan antara kelompok-kelompok tersebut adalah
agar harta kekayaan jangan hanya beredar di tangan orang-orang kaya
saja. Terhadap hukum ini kemudian dianalogikan bahwa setiap pembagian
harta kekayaan haruslah merata dan tidak boleh harta hanya diberikan
kepada orang-orang kaya saja.
Contoh
Illat yang tegas juga terdapat dalam Hadis Nabi, yang artinya: “Dari
Aisyah berkata, orang-orang arab badui berduyun-duyun untuk meminta
daging kurban, maka Rasulullah Saw. Bersabda: “makan dan simpanlah
jangan sampai lebih dari tiga hari”. Setelah mendengar anjuran itu
mereka berkata kepada beliau: “Ya Rasulallah, orang-orang umumnya
memanfaatkan untuk membuat minyak dan untuk menjamu para tukang siram,
mengapa mesti engkau larang untuk menyimpan daging qurban?” Maka beliau
bersabda: “aku larang karena dahulu masih banyak rombongan badui yang
mengharap pemberian daging qurban tersebut, tapi sekarang makan simpan
(sampai kapan saja) dan sedekahkanlah” (HR. Nasai)
Hadis
di atas menjelaskan bahwa illat dari adanya larangan menyimpan daging
kurban adalah karena banyak orang-orang Islam dari pedusunan datang
membutuhkannya. Namun beberapa saat setelah illatnya tidak ada yakni
orang-orang dusun sudah tidak lagi dating membutuhkannya, maka nabi
memperbolehkan menyimpannya kembali.
Contoh
Illat yang tidak tegas terdapat dalam Firman Allah di dalam surat
al-Baqarah Ayat 222, yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka
(istri-istrimu), sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri”
Redaksi
ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi Illat bagi
haramnya mendekati istri adalah karena keadaan haidlnya, dan illat halal
mendekatinya adalah keadaanya yang telah suci. Kesimpulan ini bukan
tersurat dalam ayat diatas, namun tersirat di dalamnya.
2. Melalui Ijma’.
Contoh:
Kesepakatan ulama bahwa keadaan kecil seseorang menjadi ‘illat bagi
perlu ada pembimbing untuk mengendalikan hartanya, sampai ia dewasa.
Dianalogikan kepadanya hak mewalikan anak prempuan kecil dalam masalah
pernikahan bagi madzhab hanafiah.
3. Melalui Ijtihad
Hasilnya
dinamakan ‘illat al-mustanbathah (‘illat yang dihasilkan dengan jalan
ijtihad). Metodenya adalah al-Sibru wa al-Taqsim, yakni al-sibru yang
berarti menyeleksi dan al-taqsim yang berarti mengumpulkan. Contoh:
khomer diharamkan oleh Al-Quran. Kemudian seorang mujtahid mencari
‘illat (motovasinya), mengapa khomer diharamkan?. Merek kemudian
mengumpulkan (taqsim) berbagai sifat yang terdapat di dalamnya, seperti
keadaan cai, keadaannya terbuat dari anggur, keadaannya berwarna merah
dan keadaannya memabukkan. Setelah beberapa sifat tersebut dikumpulkan
lalu di adakan analisis, pengujian dan penyeleksian, mana yang paling
relevan untuk dijadikan sebagai ‘illat. Sehingga ditemukan bahwa yang
paling relevan adalah memabukkan. Sebab hal itu sesuai dengan tujuan
pembentukan hukum islam yakni jalbul masholih dan dar’ul mafasid.
C. Macam-Macam Qiyas
Ditinjau dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada asal dan pada cabang, qiyas dibagi menjadi 3 macam:
1.
Qiyas Aula; yakni qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang lebih
utama dan lebih kuat dari pada ‘illat yang terdapat dalam asal. Contoh:
mengatakan “ah” kepada orag tua hukumnya adalah haram (hukum asal).
Illatnya adalah menyakiti. Kemudian dianalogikan dengan memukul orang
tua (hukum cabang) juga haram. Karena juga menyakiti. Maka memukul orang
tua (cabang) ‘illatnya lebih kuat dari pada illat yang terdapat dalam
asal yakni mengatakan “ah”.
2.
Qiyas Musawi; yakni qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada hukum asal
bobotnya sama dengan illat yang terdapat pada hukum cabang. Contoh:
memakan harta anak yatim hukumnya adalah haram. ‘illatnya adalah
melenyapkan harta anak yatim. Kemudian di analogikan dengan membakar
harta anak yatim adalah haram juga. Sebab sama-sama melenyenyapkan harta
anak yatim. Bobot kedua illat ini adalah sama.
3.
Qiyas Adna; yakni qiyas di mana bobot ‘illat yang terdapat dalam hukum
asal lebih utama dan lebih kuat dari pada bobot ‘illat yang terdapat
dalam hukum cabang. Contoh: sifat memabukkan yang terdapat dalam khomer
jauh lebih kuat dan utama dari pada sifat memabukkan dalam bir. Meskipun
hukum meminum bir dapat dianalogikan dengan hukum meminum khomer.
Adapun
qiyas bila ditinjau dari segi jelas dan tidak jelasnya ‘illat yang
dijadikan sebagai landasan hukum, maka qiyas terbagi menjadi 2 macam:
1.
Qiyas Jali; qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam
nash ataupun tidak ditegaskan, namun ditegaskan berdasarkan penelitian
dan bobotnya kuat. Qiyas ini mencakup qiyas awla dan qiyas musawi
2.
Qiyas Khofi; qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditarik dari hukum
asal. Contoh, menganalogikan pembunuhan dengan memakai benda tumpul
kepada pembunuhan dengan memakai benda tajam. Illatnya adalah sama-sama
ada faktor kesengajaan.
sumber: http://santri-ppmu.blogspot.com