1. PENGERTIAN HADITS
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1) al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2) Qorib (yang dekat)
3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah : “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya”. Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk “hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya“.
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : “Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya”.
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
“Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’”.
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; “memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi’in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan alhadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
"maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. At Thur; 24).
Hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syari. Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.
Sesuai difinisinya ada tiga macam hadits :
1. Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya, sabda Nabi SAW ;
“Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Muslim)
2. Hadits yang berupa perbuatan (filiyah) mencakup perilaku beliau, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata : Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir. (HR. Muslim)
3. Hadits penetapan (taqririyah) yaitu berupa penetapan atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW. contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ; Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami (HR. Muslim)
2. PENGERTIAN SUNAH
Sunah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau tidak. Jamaknya adalah sunan.
Sunah menurut istilah Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.
Sunah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi-selain al Quran- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syari.
Suah menurut istilah Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad saw, yang bukan fardlu ataupun wajib.
Sunnah menurut bahasa berarti : “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak”. Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat” (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur’an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
“Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya”.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. “Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah “segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum”. Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
“Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri’, artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
“Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul jauhilah”.
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah “perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
3. PENGERTIAN KHABAR
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabiin. oleh karena itu, hadits marfu, maukuf, dan maktu bisa dikatakan sebagai khabar. Dan menurutnya khabar murodif dengan hadits.
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
1. Kata khabar sinonim dengan hadits;
2. Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
3. Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits.
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah ‘umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
4. PENGERTIAN ATSAR
Secara etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. “Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
5. PERBEDAAN HADITS DENGAN AS-SUNNAH, AL-KHABAR, DAN AL-ATSAR
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
(b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar”.
(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in. “Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)”. Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.
sumber: http://hanny.blogdetik.com